PLTS, Harapan Baru untuk Energi Murah dan Bersih di Daerah Terpencil

BAYANGKAN sebuah desa di pedalaman Maluku yang selama puluhan tahun hidup dalam gelap—bergantung pada genset diesel mahal, suara bising mesin, dan pasokan bahan bakar yang tak menentu. Kini, harapan baru mulai bersinar lewat panel-panel surya yang senyap namun bertenaga.

Energi surya tak lagi sekadar wacana hijau. Ia telah menjadi pilihan ekonomis dan strategis. Terobosan teknologi dan efisiensi harga menjadikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai solusi unggulan untuk wilayah terpencil di Indonesia.

PLTS Solutif untuk Daerah Terpencil

Ketua Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI), Andhika Prastawa, menyebutkan bahwa harga listrik dari PLTS dengan baterai kini hanya sekitar 8–10 sen dolar AS per kilowatt-jam (kWh). Tanpa baterai, harganya bahkan bisa menembus 4 sen dolar AS per kWh.

Sebagai perbandingan, listrik dari pembangkit diesel (PLTD) di wilayah seperti Maluku masih berada pada kisaran 40–50 sen dolar AS per kWh—sekitar lima kali lipat lebih mahal. Angka ini mencerminkan realitas energi di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang selama ini harus membayar lebih mahal hanya untuk penerangan malam hari.

Baca juga: Abu Dhabi Bangun PLTS Terbesar Dunia, Simbol Transformasi Energi Global

“PLTS bukan lagi hanya soal hijau, tapi juga logika ekonomi,” ujar Andhika dalam acara China International Energy Storage (EESA) Summit 2025 di Jakarta. Menurutnya, biaya rendah dari teknologi surya, ditambah sistem penyimpanan energi (baterai), menjadikan PLTS mampu menyaingi bahkan melampaui efisiensi pembangkit berbasis fosil.

Keunggulan PLTS, Biaya Lebih Rendah dan Dampak Lingkungan yang Positif

Namun, di balik potensi besar itu, ada tantangan besar: ketergantungan terhadap impor baterai. Hampir seluruh teknologi penyimpanan energi di Indonesia berasal dari Tiongkok. Ini menciptakan kerentanan, terutama jika permintaan global meningkat dan harga baterai melonjak.

“Kalau pasar globalnya naik, harga baterai bisa ikut melonjak. Kita harus punya industri baterai sendiri,” tegas Andhika.

Pemasangan panel surya, langkah nyata menuju energi terbarukan dan berkelanjutan. Foto: Ilustrasi/ Hoan Ngoc/ Pexels.

Pentingnya kemandirian teknologi ini tak hanya soal harga, tapi juga soal keberlanjutan pasokan. Di masa depan, ketika energi terbarukan menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional, kontrol terhadap komponen utama seperti baterai akan menjadi isu strategis.

Baca juga: PLTSa di 12 Kota Masih Mandek, Evaluasi Jadi Kunci Percepatan

Pemerintah pun tak bisa tinggal diam. Dorongan untuk membangun ekosistem industri baterai dalam negeri—mulai dari hulu (tambang nikel dan litium) hingga hilir (perakitan dan daur ulang)—menjadi agenda penting dalam peta jalan transisi energi Indonesia.

Bangun Infrastruktur Baterai dalam Negeri untuk Menunjang PLTS

Apalagi, dengan target mencapai Net Zero Emission pada 2060, Indonesia membutuhkan lompatan besar dalam pengembangan energi terbarukan. PLTS bisa menjadi tulang punggungnya, terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini sulit dijangkau jaringan listrik PLN.

Dalam skema yang lebih besar, energi surya membuka pintu untuk demokratisasi energi. Teknologi ini memungkinkan desa-desa untuk menghasilkan listrik sendiri, tanpa bergantung pada sistem terpusat. Ini bukan hanya soal kilowatt, tapi soal kedaulatan dan pemerataan.

Baca juga: Menuju 100% EBT, Baterai Jadi Pilar Transisi Energi Indonesia

Langkah-langkah konkret juga mulai tampak. Berbagai proyek PLTS komunal telah dibangun di Papua, NTT, dan Kepulauan Riau. Beberapa di antaranya sudah mampu menyediakan listrik selama 24 jam penuh berkat sistem baterai yang andal.

Namun keberhasilan jangka panjang tetap bergantung pada kebijakan yang tepat. Subsidi, insentif investasi, dan program pelatihan lokal harus berjalan bersamaan. Tanpa dukungan sistemik, potensi PLTS hanya akan menjadi kilau sesaat di tengah malam.

Energi surya kini bukan lagi impian masa depan. Ia telah menjadi kenyataan hari ini—dan bisa menjadi tulang punggung sistem energi berkelanjutan Indonesia, jika dikelola dengan visi dan keberanian. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *