SETIAP hari, lebih dari 100 anak di bawah usia lima tahun di Asia Timur dan Pasifik meninggal akibat polusi udara. Temuan ini disampaikan oleh Dana Anak-anak PBB (UNICEF) dalam laporan terbaru mereka.
Angka tersebut menggambarkan dampak nyata krisis kualitas udara terhadap generasi mendatang. Direktur Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik, June Kunugi, menegaskan bahwa anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap paparan polusi udara.
“Setiap napas penting, tetapi bagi banyak anak, setiap tarikan napas justru membawa bahaya,” kata Kunugi, dikutip dari Earth.org, Senin (10/2/2025).
500 Juta Anak Menghirup Udara Beracun
UNICEF mencatat bahwa 500 juta anak di Asia Timur dan Pasifik hidup dalam lingkungan dengan tingkat polusi udara tidak sehat. Dari jumlah tersebut, 235 juta anak tinggal di negara yang tingkat PM2.5-nya melebihi batas aman WHO hingga lima kali lipat.
Sebagai perbandingan, WHO menetapkan batas aman PM2.5 sebesar 15 mikrogram per meter kubik untuk durasi 24 jam dan 5 mikrogram per meter kubik sebagai rata-rata tahunan. Namun, di banyak kota besar Asia, angka ini jauh terlampaui.
Baca juga: Polusi Udara, Ancaman Tersembunyi untuk Kesehatan Mental di Indonesia
PM2.5 adalah partikel halus yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, biomassa, serta limbah pertanian. Partikel ini dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan asma, infeksi pernapasan, kanker paru-paru, bahkan kematian dini.
Dampaknya lebih parah bagi anak-anak. Sistem pernapasan mereka masih berkembang, dan polusi udara dapat mengganggu pertumbuhan paru-paru, sistem saraf, serta kemampuan kognitif.

Polusi dalam Ruangan, Ancaman Tak Terlihat
Lebih dari setengah kematian akibat polusi udara pada anak-anak di bawah lima tahun disebabkan oleh polusi udara dalam ruangan.
Di banyak negara berkembang, penggunaan bahan bakar tidak bersih untuk memasak menjadi sumber utama polusi dalam ruangan. Asap dari kayu bakar, arang, atau bahan bakar padat lainnya menghasilkan polutan berbahaya seperti nitrogen oksida, karbon monoksida, dan partikel halus.
Baca juga: 2035: Ancaman Iklim, Polusi, dan Risiko Teknologi Mengintai Dunia
Wanita dan anak perempuan terkena dampak lebih besar karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu di dalam rumah. Menurut analisis WHO tahun 2016, anak perempuan di rumah tangga yang menggunakan bahan bakar tidak bersih kehilangan sekitar 20 jam setiap minggu hanya untuk mengumpulkan kayu atau air.
Kondisi ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Anak perempuan di keluarga miskin tidak hanya menghadapi risiko kesehatan lebih besar tetapi juga memiliki akses pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki atau mereka yang berasal dari rumah tangga dengan energi bersih.
Masa Depan Udara Bersih
Polusi udara bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga isu keadilan lingkungan dan sosial.
Negara-negara berkembang menghadapi dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan energi murah dengan transisi ke sumber energi bersih? Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Mempercepat transisi ke energi terbarukan seperti listrik berbasis tenaga surya dan angin.
- Menghapus subsidi bahan bakar fosil yang masih mendominasi sektor energi di banyak negara Asia.
- Mendorong penggunaan kompor bersih untuk mengurangi polusi dalam ruangan.
- Meningkatkan regulasi emisi industri dan kendaraan bermotor untuk mengendalikan pencemaran udara perkotaan.
Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 T Setiap Tahun
Tanpa langkah konkret, generasi mendatang akan terus tumbuh dalam lingkungan yang beracun. Setiap kebijakan yang dibuat hari ini menentukan apakah anak-anak di masa depan akan bisa bernapas dengan lebih sehat atau terus hidup dalam bahaya udara yang mematikan. ***
- Foto: Dok/ Hamdani S Rukiah/ MulaMula – Polusi udara Jakarta pada 10 Mei 2024.