INDONESIA memasuki fase baru dalam penataan sistem keuangan berkelanjutan. Bukan lagi sekadar memenuhi kepatuhan, regulator kini bergerak mempersempit ruang greenwashing sekaligus mendorong industri jasa keuangan menilai risiko iklim sebagai variabel inti dalam pengambilan keputusan.
Perubahan ini menandai pergeseran strategis. Transparansi dan pengelolaan risiko kini menjadi arena kompetisi baru bagi lembaga keuangan.
Standar Transparansi Naik Kelas
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat Standar Pengungkapan Keberlanjutan (SPK), kerangka baru yang disahkan Ikatan Akuntan Indonesia pada Juli lalu. Inisiatif ini merupakan kerja kolektif OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan untuk menyusun ekosistem pelaporan keberlanjutan yang lebih kredibel, terukur, dan selaras dengan kerangka internasional.
SPK terbagi menjadi dua pilar:
SPK-1, yang mengatur pengungkapan keberlanjutan secara umum, dan SPK-2, yang secara khusus mewajibkan pengungkapan informasi risiko dan dampak iklim. Keduanya didesain untuk menutup ruang klaim hijau yang tidak berdasar.
Baca juga: Bank of England Perketat Aturan Risiko Iklim, Sinyal Baru bagi Stabilitas Keuangan Global
“OJK memperkuat standar transparansi untuk mendorong akuntabilitas pasar dan mencegah praktik greenwashing,” ungkap Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, R. Joko Siswanto, dalam forum Green Economy Outlook 2026 di Jakarta.
Menurut Joko, kualitas pengungkapan ini akan menjadi instrumen daya saing strategis. Investor global menuntut data yang semakin granular, mulai dari risiko fisik, risiko transisi, hingga strategi adaptasi. Institusi yang tidak mampu memberikan pengungkapan yang kredibel berisiko tersingkir dari arus pendanaan hijau.
Risiko Iklim Jadi Pusat Tata Kelola Baru
OJK juga mendorong penerapan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMSA), terutama di sektor perbankan. Kerangka ini mewajibkan bank menghitung risiko fisik dan transisi, melakukan stress testing, serta menyusun strategi mitigasi yang terukur.
Pendekatan ini menempatkan risiko iklim setara dengan risiko kredit, risiko pasar, atau risiko operasional. Risiko iklim bukan lagi variabel pinggiran, tetapi fondasi tata kelola baru sektor keuangan.

Penerapannya menuntut kesiapan SDM, model analisis, hingga integrasi data. Karena itu, OJK memperluas program peningkatan kapabilitas ESG, membuka kerja sama lintas sektor, dan memperkuat literasi risiko iklim di seluruh level organisasi. Tanpa kesiapan, regulasi akan menjadi beban; dengan kesiapan, ia bisa menjadi pendorong daya saing.
Taksonomi Hijau Masuk Babak Baru
Agenda lain yang bergerak paralel adalah penyempurnaan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKI) versi ketiga. Taksonomi ini menjadi instrumen kunci untuk mengklasifikasikan kegiatan ekonomi berdasarkan tingkat keberlanjutan, risiko, dan kontribusi transisi.
TKI versi terbaru bakal menjadi tolok ukur portofolio lembaga keuangan. Ia akan memengaruhi penilaian risiko, peluang pembiayaan, dan evaluasi kinerja keberlanjutan institusi. Singkatnya, taksonomi ini akan membentuk ulang lanskap pembiayaan hijau Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Dari sektor swasta, responsnya positif namun realistis. Ketua Umum Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA), Katharine Grace, menegaskan bahwa pelaku usaha bersedia memenuhi komitmen regulator, tetapi membutuhkan ruang dialog untuk memastikan implementasi berjalan proporsional.
“Kami menunjukkan kepada regulator tantangan kita apa, kesulitan kita apa, memerlukan bantuan seperti apa,” ujarnya.
Baca juga: OJK Kuatkan Peta Jalan Hijau, Taksonomi Baru dan Aturan Risiko Iklim Menanti 2027
Grace mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa menyalin taksonomi negara lain begitu saja. Struktur ekonomi berbasis sumber daya alam membuat transisi perlu dirancang bertahap. “Taksonomi setiap negara berbeda… kita tidak bisa langsung lompat,” katanya.
Regulasi baru ini memperlihatkan upaya konsisten Indonesia membangun ekosistem keuangan yang lebih transparan, resilien, dan adaptif terhadap risiko iklim. Tantangannya besar, tetapi arah kebijakan semakin jelas bahwa data yang kredibel, tata kelola yang kuat, dan pasar yang lebih akuntabel sebagai fondasi ekonomi rendah karbon. ***


