Serangga, Penyelamat Keberlanjutan Pertanian Indonesia

DALAM dunia pertanian modern yang terus mencari solusi berkelanjutan, perhatian kita kerap tertuju pada teknologi, pupuk organik, atau teknik tanam ramah lingkungan. Namun, ada satu aktor penting yang sering luput dari sorotan: serangga.

Bagi Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Purnama Hidayat, serangga bukan hanya makhluk kecil yang bersayap atau berkaki enam. Mereka adalah pekerja ekosistem—pahlawan tak terlihat yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi Indonesia. “Serangga bukan musuh. Justru, mereka sekutu paling setia dalam menjaga produktivitas dan keberlanjutan pertanian,” ujarnya.

Serangga Penentu Produktivitas Sawit Nasional

Industri sawit menyumbang Rp 440 triliun per tahun bagi perekonomian Indonesia. Namun, sedikit yang tahu bahwa sekitar Rp 300 triliun dari jumlah itu bergantung pada keberadaan serangga penyerbuk seperti Elaeidobius kamerunicus.

Baca juga: Pertanian Regeneratif, Tren Diam-diam Mengubah Indonesia

Tanpa kehadiran mereka, hasil panen bisa turun drastis, bahkan hingga 80 persen. Ini bukan ancaman kecil. Purnama menekankan bahwa Indonesia beruntung karena kondisi ekologisnya masih mendukung populasi serangga penyerbuk alami. Sementara negara lain, seperti Malaysia, harus mengimpor serangga dari Afrika.

“Tanaman sawit berasal dari Afrika. Maka wajar jika serangganya pun dibawa dari sana,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis di laman resmi IPB University. Keunggulan lokal ini harus dijaga agar tidak hilang akibat polusi, pestisida, atau alih fungsi lahan.

Pengendali Hayati yang Hemat dan Ramah Lingkungan

Selain sebagai penyerbuk, serangga juga berperan sebagai pengendali hayati alami. Ini menjadi alternatif penting di tengah kekhawatiran terhadap penggunaan insektisida berlebihan yang mencemari lingkungan.

Meskipun kecil, serangga memegang kunci masa depan pertanian Indonesia, menjaga ekosistem dan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia. Foto: Ludwig Kwan/ Pexels.

Contoh nyatanya terjadi di Lampung. Sebuah perusahaan gula berhasil menurunkan penggunaan insektisida hingga 80 persen dengan membudidayakan serangga predator. Dampaknya bukan hanya pada efisiensi biaya, tapi juga pada kualitas tanah, air, dan kesehatan petani.

Baca juga: AS Pangkas Bantuan, Krisis Pangan Mengancam 14 Negara

“Kalau serangga bekerja, manusia tidak perlu mengintervensi dengan racun,” kata Purnama. Ini membuka jalan bagi pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan secara ekologis.

Sumber Protein Masa Depan yang Efisien dan Ramah Lingkungan

Peran serangga tidak berhenti di lahan pertanian. Mereka juga mulai dilirik sebagai sumber protein alternatif masa depan. Menurut laporan FAO, serangga menawarkan efisiensi produksi yang tinggi dengan jejak karbon yang rendah.

Baca juga: Ketahanan Pangan Terancam, 17% Sawah Dunia Tercemar Logam Berat

Beberapa negara Asia, seperti Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, telah menjadikan konsumsi serangga sebagai bagian dari gaya hidup. Meski saat ini masih dianggap aneh di Indonesia, Purnama yakin persepsi ini akan berubah.

“Bisa jadi 20–30 tahun lagi, makan serangga adalah hal yang biasa. Apalagi jika ketersediaan daging menurun,” ujarnya. Tantangannya bukan hanya di lidah, tapi di pola pikir.

Mengubah Cara Pandang Terhadap Serangga

Serangga bukan ancaman, melainkan solusi. Mereka membantu manusia meningkatkan produksi pangan, menjaga ekosistem, hingga menghadirkan alternatif nutrisi. Dalam menghadapi krisis iklim, urbanisasi, dan ketahanan pangan yang rapuh, keberadaan mereka semakin penting.

Saatnya dunia pertanian melihat serangga sebagai sekutu strategis. Keberlanjutan bukan hanya soal teknologi canggih, tapi juga bagaimana kita menghargai makhluk kecil yang bekerja tanpa pamrih. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *