Target Emisi Indonesia Mundur ke 2035, Tarik-Ulur Ambisi Ekonomi & Hijau

INDONESIA menghadapi dilema besar dalam transisi energi. Demi mencapai pertumbuhan ekonomi 8% sesuai visi Presiden Prabowo, pemerintah memutuskan untuk menunda target puncak emisi sektor energi hingga 2035—lima tahun lebih lambat dari target awal.

Langkah ini tertuang dalam revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disetujui DPR pada Februari 2025. Meski di satu sisi mendukung investasi dan ekspansi energi, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana nasib komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon?

Emisi Karbon vs Pertumbuhan Ekonomi

Dalam diskusi “Indonesia Climate Policy Outlook 2025” yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa penyesuaian target emisi dilakukan untuk mengakomodasi ambisi pertumbuhan ekonomi.

“Sekarang targetnya 2035. Ini untuk menyesuaikan dengan rencana pemerintah yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi 8%,” ujar Dadan.

Baca juga: Emisi Karbon di Atmosfer Meningkat Pesat di 2024

Keputusan ini berdampak langsung pada strategi energi nasional. Sektor energi, yang menjadi penyumbang emisi terbesar, kini harus menyeimbangkan antara peningkatan pasokan energi dan pengurangan karbon.

Meski target puncak emisi mundur, investasi dalam Energi Baru Terbarukan (EBT) justru mengalami peningkatan. Berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), porsi investasi di sektor EBT naik dari 50,4% menjadi 56% hingga 2040. “Bukan hanya persentasenya yang meningkat, tetapi juga volume investasinya,” tambah Dadan.

Indonesia menunda target puncak emisi energi hingga 2035 demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8%. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.

Dua Pilar Transisi Energi, Kompetitif dan Rendah Karbon

Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan transisi energi melalui dua strategi utama:

  1. Menjaga ketersediaan energi yang kompetitif
    Energi yang murah dan berkualitas tetap menjadi prioritas, mengingat kebutuhan industri yang terus meningkat.
  2. Menurunkan intensitas karbon dalam energi nasional
    Kombinasi energi fosil dan EBT akan terus disesuaikan untuk memastikan pengurangan emisi tetap berjalan.

Baca juga: 5 Sektor Emisi yang Menantang Perjalanan Net Zero Indonesia 2060

Dua pilar ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya meninggalkan komitmen hijau, tetapi mencoba mencari solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tetap optimal.

Apakah Ini Langkah Mundur?

Meski investasi dalam EBT meningkat, banyak pihak mempertanyakan apakah penundaan target emisi justru akan memperlambat dekarbonisasi Indonesia.

Menurut laporan Climate Action Tracker, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai net zero emission pada 2060. Penundaan target puncak emisi bisa memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, terutama batu bara, yang masih mendominasi pasokan listrik nasional.

Baca juga: Dunia di Ambang Krisis Iklim, Sepertiga Wilayah Bisa Tak Layak Huni

Di sisi lain, investor global kini lebih selektif dalam menyalurkan dana ke negara-negara yang memiliki kebijakan lingkungan yang jelas. Penyesuaian target emisi bisa memengaruhi daya tarik investasi hijau di Indonesia.

Arah Baru atau Jalan di Tempat?

Keputusan pemerintah untuk menyesuaikan target emisi mencerminkan kompleksitas transisi energi di negara berkembang. Ambisi pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi harus berjalan seiring dengan tuntutan global untuk menekan emisi karbon.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Apakah langkah ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus mendorong energi bersih? Atau justru menjadi langkah mundur dalam perjuangan melawan krisis iklim?

Waktu yang akan menjawab. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *