TURBULENSI udara kerap dianggap sekadar gangguan kecil saat penerbangan. Namun, penelitian terbaru dari University of Reading mengingatkan bahwa fenomena ini akan menjadi ancaman serius bagi keselamatan dan kenyamanan perjalanan udara di masa depan.
Selama 40 tahun terakhir, pemanasan global terbukti memperkuat pola turbulensi. Peneliti menggunakan 26 model iklim global mutakhir untuk menelusuri bagaimana suhu yang meningkat memengaruhi jet stream, arus udara cepat yang mengelilingi bumi pada ketinggian jelajah pesawat.
Jet Stream yang Tak Lagi Stabil
Jet stream memainkan peran penting dalam menentukan cuaca dan jalur penerbangan. Namun, perubahan iklim membuat arus ini bergeser dan melemahkan stabilitas atmosfer. Akibatnya, geseran angin, perbedaan kecepatan angin di ketinggian berbeda, meningkat tajam.
Baca juga: Perubahan Iklim, Ancaman Besar bagi Ekonomi 2025
Dalam publikasi di Journal of the Atmospheric Sciences, para peneliti menemukan bahwa geseran angin akan naik antara 16–27 persen. Sementara itu, atmosfer diprediksi 10–20 persen lebih tidak stabil dari 2015 hingga 2100. Kondisi ini menciptakan lahan subur bagi turbulensi udara jernih (clear-air turbulence).
“Peningkatan geseran angin dan berkurangnya stabilitas itu menciptakan kondisi ideal untuk turbulensi udara jernih, yaitu guncangan tiba-tiba yang tidak terlihat radar dan sulit dihindari pilot,” jelas Joana Medeiros, kandidat PhD sekaligus peneliti utama di University of Reading, dikutip dari Phys (27/8/2025).
Tantangan Maskapai dan Teknologi
Berbeda dengan turbulensi akibat badai, turbulensi udara jernih tidak dapat diprediksi dengan peralatan radar konvensional. Hal ini menuntut inovasi teknologi untuk mendeteksinya lebih awal. Profesor Paul Williams, salah satu penulis studi, menegaskan bahwa dunia penerbangan perlu berinvestasi pada sistem deteksi baru. “Maskapai membutuhkan teknologi yang mampu mengidentifikasi risiko sebelum pesawat benar-benar terguncang,” ujarnya.

Bagi maskapai, risiko ini bukan hanya soal keselamatan, tapi juga kerugian finansial. Data dari Research Applications Laboratory menunjukkan bahwa turbulensi merugikan maskapai Amerika Serikat antara 150 juta hingga 500 juta dolar AS setiap tahun. Angka ini berasal dari biaya perawatan pesawat, keterlambatan jadwal, hingga klaim kompensasi penumpang.
Baca juga: Kelangkaan Air dan Perubahan Iklim, Bom Waktu bagi Dunia
Skema Emisi Menentukan Masa Depan
Penelitian ini juga membandingkan skenario emisi gas rumah kaca sedang dan tinggi. Hasilnya jelas, semakin tinggi emisi, semakin buruk dampak turbulensi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di belahan bumi utara yang padat rute penerbangan, tapi juga di selatan, termasuk Asia Tenggara.
Artinya, isu ini bukan lagi sekadar tantangan teknis penerbangan, melainkan bagian dari krisis iklim global. Jika dunia gagal mengurangi emisi, langit di masa depan akan semakin sulit diprediksi.
Dampak pada Asia Tenggara dan Indonesia
Bagi Asia Tenggara, risiko ini semakin relevan. Jalur udara Jakarta–Singapura, Jakarta–Kuala Lumpur, hingga Denpasar–Sydney adalah rute padat yang melintasi wilayah tropis dengan sistem cuaca dinamis. Penelitian sebelumnya sudah menunjukkan bahwa kawasan tropis berpotensi mengalami intensifikasi turbulensi karena interaksi antara pemanasan laut dan atmosfer.
Baca juga: Indonesia Berada di Antara Negara Paling Percaya Diri Hadapi Perubahan Iklim
Indonesia sendiri tengah mendorong pariwisata dan memperluas konektivitas udara. Jika risiko turbulensi meningkat, bukan hanya kenyamanan penumpang yang terganggu, tapi juga reputasi industri pariwisata yang sangat bergantung pada penerbangan. Situasi ini menuntut kesiapan maskapai nasional dalam mengadopsi teknologi deteksi turbulensi serta kolaborasi dengan badan meteorologi untuk memprediksi risiko lebih akurat. ***
- Foto: Pixabay/ Pexels – Pesawat menembus langit berawan. Studi terbaru menunjukkan turbulensi udara jernih makin sering terjadi akibat perubahan iklim.