BAYANGKAN jika seluruh desa di Indonesia bisa menghasilkan listrik sendiri dari tenaga surya. Itulah visi besar yang kini sedang digodok pemerintah. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 80.000 desa masuk dalam rencana besar pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) nasional.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyebut proyek ini membutuhkan investasi sebesar 100 miliar dollar AS atau setara Rp 1.630 triliun. Namun, ia optimistis jika dana subsidi energi yang selama ini digelontorkan, sekitar 25 miliar dollar AS per tahun, dialihkan, maka proyek ini bisa rampung dalam 4–5 tahun.
Desa sebagai Pusat Energi Masa Depan “Kalau kita bangun panel surya pakai uang subsidi, ke depan kita tidak perlu lagi anggaran subsidi,” kata Zulkifli dalam forum Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (26/7/2025).
Proyek ini sedang dipayungi dengan rancangan Peraturan Presiden (Perpres). Targetnya, membangun panel surya seluas 1,2 juta hektare, tersebar dari desa hingga kabupaten. Sistem kelistrikan akan berbasis lokal dengan penyimpanan daya di baterai.
Zulkifli optimistis, dalam 10 tahun ke depan Indonesia bisa meraih kedaulatan energi berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sebuah lompatan strategis, bukan hanya untuk memperluas akses listrik, tapi juga untuk memperkuat posisi Indonesia dalam transisi energi global.
Sampah Jadi Energi, Regulasi Disederhanakan Tak hanya soal listrik. Pemerintah juga sedang menyatukan regulasi untuk pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy). Tiga Perpres terkait, Nomor 97, 83, dan 35, akan dilebur demi mempermudah proses perizinan dan mempercepat pembangunan pabrik pengolahan sampah.
Pemasangan panel surya di atap rumah. Energi matahari menjadi solusi ramah lingkungan yang kini mulai ditargetkan menjangkau desa-desa di Indonesia. Foto: Kindel Media/ Pexels.
Salah satu yang jadi perhatian adalah TPST Bantargebang, Bekasi. Tempat ini sudah kelebihan kapasitas dan mendesak dicarikan solusi. Dengan sistem insinerator dan teknologi yang telah teruji, sampah bisa diubah menjadi listrik. “Kalau Perpres baru jadi, dalam dua tahun sampah-sampah besar bisa ditangani,” ujar Zulkifli.
Menuju Komitmen Iklim Global 2025
Sejauh ini, sejumlah wilayah di Indonesia Timur telah memanfaatkan PLTS, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan bioenergi sebagai pengganti energi fosil. Hasilnya cukup menggembirakan. Emisi karbon turun 36,7 persen atau 608 juta ton setara CO₂.
Komitmen ini sejalan dengan Nationally Determined Contribution (NDC) kedua Indonesia. Dokumen yang sedang disiapkan ini akan menjadi pedoman dalam pengurangan emisi dan adaptasi iklim, terutama di sektor pangan, kehutanan, dan energi. NDC kedua ditargetkan rampung pada September 2025, sebelum Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) di Brasil.
Bagi para pembuat kebijakan, proyek ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga menyangkut arah baru pembangunan nasional, yakni desa sebagai pusat energi, ekonomi lokal yang berdaya, dan iklim yang lebih lestari.
Jika berhasil, Indonesia bisa menjadi model negara berkembang dalam membangun sistem energi yang berkelanjutan dan adil. ***