SETIAP hari, bumi kehilangan lahan subur dalam skala yang mengkhawatirkan. Sekitar 1 juta kilometer persegi lahan produktif terdegradasi tiap tahun. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah sinyal darurat bagi ekonomi global, ketahanan pangan, dan masa depan ekosistem.
Bagi Indonesia—negara agraris dan megabiodiversitas—isu ini tak bisa diabaikan. Degradasi lahan bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga ekonomi, sosial, dan stabilitas jangka panjang.
Lebih dari Sekadar Tanah yang Gersang
Menurut Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD ), Ibrahim Thiaw, dunia sedang menghadapi tantangan besar. Jika tren degradasi saat ini terus berlanjut, diperlukan restorasi 1,5 miliar hektar lahan hingga 2030 untuk mencapai kondisi netral degradasi.
“Restorasi bukan sekadar menyelamatkan alam. Tapi, juga peluang ekonomi yang masif,” kata Thiaw.
Kenapa? Karena lebih dari 50 persen PDB global bergantung pada alam. Tanah yang sehat mendukung produksi pangan, penyediaan air bersih, dan iklim yang stabil. Tanah yang rusak justru menjadi sumber krisis—mulai dari kemiskinan, migrasi, hingga konflik sosial.
Investasi Lahan: Untung Besar, Risiko Tinggi jika Diabaikan
UNCCD mencatat bahwa setiap 1 dolar AS yang diinvestasikan untuk pemulihan lahan bisa menghasilkan keuntungan ekonomi antara 7 hingga 30 dolar AS. Artinya, pemulihan lahan bukan beban—ia adalah peluang ekonomi berlipat ganda.
Namun sayangnya, investasi global dalam pemulihan lahan masih jauh dari memadai. Saat ini, kebutuhan dana diperkirakan mencapai 1 miliar dolar AS per hari hingga tahun 2030. Sementara realisasi investasi baru menyentuh 66 miliar dolar AS per tahun—itu pun dengan kontribusi sektor swasta hanya 6 persen.
Baca juga: Lahan Sawah Menyusut, Bisakah Indonesia Tetap Berdaulat Pangan?
Thiaw menegaskan perlunya terobosan pendanaan. Pemerintah dan sektor bisnis harus berani melangkah lebih jauh. Dibutuhkan inovasi model keuangan hijau, pembiayaan berbasis hasil, dan insentif untuk pelaku lokal.
Restorasi Butuh Aksi Nyata, Bukan Sekadar Komitmen
Hingga kini, sekitar 1 miliar hektar lahan telah dijanjikan untuk dipulihkan melalui komitmen global, termasuk lewat Prakarsa Pemulihan Lahan G20. Tapi janji tak cukup. Diperlukan percepatan aksi nyata dan kerja lintas sektor.

Bagi Indonesia, ini peluang sekaligus tantangan. Luasnya lahan kritis, dari hutan yang terdegradasi hingga area pertanian yang rusak, bisa menjadi target restorasi berbasis komunitas. Praktik agroforestri, revitalisasi pertanian berkelanjutan, hingga rehabilitasi kawasan gambut bisa menjadi solusi.
Baca juga: Indonesia Kehilangan 150 Ribu Hektar Sawah Setiap Tahun
Yang penting, pendekatannya inklusif—melibatkan masyarakat adat, petani, perempuan, dan generasi muda. Restorasi yang hanya berorientasi proyek jangka pendek akan gagal menyentuh akar masalah.
Pilar Strategis: Kolaborasi, Inovasi, dan Pengetahuan Lokal
Kunci sukses restorasi lahan tak hanya pada dana. Tapi juga pada kolaborasi antar pihak, penggunaan teknologi cerdas (seperti pemantauan satelit dan AI untuk pemetaan lahan), serta pemanfaatan kearifan lokal.
Indonesia punya modal besar di sini. Beragam pengetahuan tradisional soal pengelolaan lahan lestari telah diwariskan sejak lama. Sayangnya, pendekatan restorasi sering kali tidak menghargai praktik ini. “Sekaranglah saatnya membuka peluang dari lahan yang dipulihkan,” ujar Thiaw.
Jalan Menuju Ekonomi Hijau
Restorasi lahan adalah bagian dari jalan besar menuju ekonomi hijau. Ini mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara holistik.
Baca juga: COP16 Riyadh Janji Rp191 T untuk Atasi Degradasi Lahan
Jika dilakukan dengan benar, restorasi bisa menciptakan lapangan kerja berbasis alam, meningkatkan ketahanan iklim, dan memperkuat sistem pangan. Bagi praktisi dan pemerhati keberlanjutan di Indonesia, inilah medan strategis untuk berinovasi dan berkolaborasi.
Bukan hanya demi lingkungan. Tapi demi masa depan yang berdaya, adil, dan berkelanjutan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Dylan Leagh/ Pexels.