Warisan Iklim, Beban Berat Anak-anak Era 2020 ke Atas

DI BALIK tawa riang anak-anak masa kini, ada ancaman senyap yang terus mendekat: krisis iklim. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Nature mengungkapkan fakta mencengangkan—mereka yang lahir pada tahun 2020 dan sesudahnya akan menghadapi cobaan iklim dua hingga tujuh kali lebih berat dibanding generasi yang lahir di tahun 1960-an.

Ini bukan soal ramalan. Ini soal sains.

Jika Bumi menghangat hingga 3,5°C pada akhir abad ini, sebanyak 92 persen anak berusia lima tahun saat ini akan menghadapi gelombang panas mematikan setidaknya sekali dalam hidupnya. Tak berhenti di situ, mereka juga berisiko mengalami gagal panen, kekurangan pangan, dan banjir besar. Bandingkan dengan generasi kelahiran 1960, yang hanya 16 persen pernah mengalami gelombang panas ekstrem.

Ketimpangan Iklim Antargenerasi

Laporan ini menyodorkan realitas menyakitkan: krisis iklim bukan sekadar urusan cuaca, melainkan juga ketidakadilan antargenerasi. Para ilmuwan menyebut, anak-anak hari ini membayar harga dari emisi karbon generasi sebelumnya.

Baca juga: Sinyal Krisis Iklim, Indonesia Hadapi Cuaca Ekstrem hingga 2100

“Jika kita berhasil menstabilkan suhu global pada 1,5°C, setidaknya separuh generasi muda saat ini bisa menghindari paparan ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Luke Grant, peneliti utama studi ini dari Pusat Pemodelan dan Analisis Iklim Kanada.

Namun, skenario optimistis ini sulit tercapai jika kebijakan emisi global tetap stagnan seperti sekarang.

Anak-anak yang lahir pada tahun 2020 dan sesudahnya diperkirakan akan menghadapi cobaan iklim dua hingga tujuh kali lebih berat dibanding generasi 1960-an—warisan dari krisis yang tak mereka mulai. Foto: Ilustrasi/ Kampus Production/ Pexels.

Mereka yang Paling Rentan

Dampak terparah justru menghantam mereka yang lahir di wilayah tropis dan dari keluarga berpenghasilan rendah. Dalam skenario kebijakan saat ini, 92 persen anak dari keluarga miskin akan menghadapi paparan seumur hidup terhadap cuaca ekstrem, dibandingkan 79 persen dari anak-anak yang lahir di keluarga lebih sejahtera.

Artinya, ketimpangan bukan hanya terjadi antargenerasi, tapi juga antarwilayah dan kelas sosial.

Ketakutan yang Nyata

Tidak mengherankan jika survei YouGov menemukan bahwa hampir 80 persen anak-anak di bawah usia 12 tahun merasa cemas tentang perubahan iklim. Istilah “eco-anxiety” bukan lagi istilah akademis. Ini kenyataan yang tumbuh di ruang kelas, taman bermain, dan rumah tangga.

Baca juga: Dunia di Ambang Krisis Iklim, Sepertiga Wilayah Bisa Tak Layak Huni

Anak-anak hari ini menyerap kecemasan dunia yang diwariskan kepada mereka. Mereka membaca berita soal badai dahsyat, melihat kebakaran hutan, dan menyaksikan banjir bandang di layar televisi atau ponsel.

Jalan Keluar, Tindakan Sekarang

Para ahli menyerukan pentingnya keadilan dalam transisi menuju emisi nol bersih. Menurut Rosanna Gualdi dan Raya Muttarak dari Universitas Bologna, mengabaikan ketimpangan ini bisa membahayakan masa depan anak-anak di seluruh dunia.

Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?

Dekarbonisasi bukan hanya soal teknologi. Ini juga soal keberanian moral dan keadilan sosial. Investasi dalam energi terbarukan, penguatan sistem pangan, serta edukasi keberlanjutan sejak dini harus jadi prioritas.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan iklim terjadi. Tapi: apa yang kita lakukan untuk mencegah anak-anak hari ini menjadi korban berikutnya dari warisan kita? ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *