INDONESIA tengah berupaya mendapatkan akses ke dana Loss and Damage yang digagas dalam negosiasi iklim global. Dana ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah nyata. Namun, posisi Indonesia tidak serta-merta mudah.
Di satu sisi, Indonesia tergolong rentan terhadap krisis iklim. Banjir besar, kekeringan berkepanjangan, hingga ancaman kenaikan muka laut terus menghantui. Di sisi lain, Indonesia juga termasuk penyumbang emisi karbon terbesar dunia, terutama dari sektor kehutanan dan energi. Kombinasi ini menjadikan posisi diplomasi Indonesia dilematis di forum internasional.
Dilema Negara Rentan sekaligus Emitter
Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, menyebut bahwa tantangan terbesar ada pada wajah ganda Indonesia. “Kita negara rentan, tapi juga emitter,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, (17/9).
Menurutnya, krisis iklim saat ini merupakan akumulasi kegagalan paradigma ekonomi global, termasuk di Indonesia, yang masih bertumpu pada ekonomi ekstraktif. Eksploitasi hutan, alih fungsi lahan, dan penggunaan energi fosil terus menjadi motor ekonomi, namun sekaligus penyumbang emisi terbesar.
Baca juga: Indonesia Tak Kebal dari Krisis Ekologi Global
Khalisah menilai ekonomi ekstraktif sudah lama terbukti gagal. Selain menimbulkan krisis multidimensi, model pembangunan ini juga memicu konflik sosial, pelanggaran hak masyarakat, dan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan.
Tantangan dalam Diplomasi Global
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), posisi Indonesia kerap berbeda dengan negara kepulauan kecil yang sangat rentan namun minim kontribusi emisi. Negara-negara kecil itu menjadi simbol keadilan iklim, sementara Indonesia harus menghadapi sorotan karena besarnya emisi yang dihasilkan.

Ketika memperjuangkan akses ke dana Loss and Damage, Indonesia bisa dipertanyakan komitmennya. Apakah layak mendapat kompensasi, sementara masih mengandalkan batu bara, membuka ruang bagi kebakaran hutan, dan lambat beralih ke energi bersih?
Baca juga: Kabut Asap Mengancam: Indonesia, Malaysia, dan Singapura Tak Bisa Lagi Diam
Hal ini membuat jalan diplomasi Indonesia jauh lebih berliku. Perlu strategi yang tidak hanya menekankan kerentanan, tetapi juga menunjukkan langkah nyata dalam menekan emisi.
Saatnya Mengubah Arah Pembangunan
Khalisah menekankan pentingnya perubahan paradigma pembangunan. “Banyak riset sudah menunjukkan, ekonomi ekstraktif itu ekonomi gagal,” tegasnya.
Ia menilai Indonesia perlu segera berinvestasi pada energi terbarukan, memperkuat tata kelola hutan, serta melindungi masyarakat rentan di garis depan dampak iklim. Hanya dengan cara itu, klaim Indonesia sebagai negara yang berhak mendapat keadilan iklim akan lebih kuat di mata dunia.
Baca juga: Mahkamah Internasional: Negara Abai Iklim Bisa Digugat
Selain itu, akses dana Loss and Damage tidak bisa hanya dilihat sebagai kompensasi finansial. Dana ini seharusnya menjadi peluang untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau, memperkuat ketahanan masyarakat, dan menata ulang fondasi pembangunan agar lebih berkelanjutan. ***
- Foto: Tom Fisk/ Pexels – Kabut polusi menyelimuti langit Jakarta, simbol dilema Indonesia sebagai korban sekaligus penyumbang emisi krisis iklim.


