SEBUAH temuan mencengangkan kembali menguak praktik penyalahgunaan kawasan konservasi di Indonesia. Kali ini, Kementerian Kehutanan menemukan bahwa sejumlah korporasi besar menggunakan kedok “nama rakyat” untuk menjalankan bisnis perkebunan sawit ilegal, termasuk di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
Di balik hamparan pohon sawit yang tumbuh rapi di area yang semestinya dilindungi, tersimpan praktik yang melibatkan manipulasi identitas dan penyamaran struktural. Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menyebutkan bahwa pola yang ditemukan sangat rapi. Korporasi menggunakan nama masyarakat lokal, yang sejatinya adalah pekerja mereka, untuk mengklaim kepemilikan dan aktivitas di dalam kawasan konservasi.
“Problem teknisnya tidak mudah di lapangan,” ujar Raja Juli dalam rapat bersama Komisi IV DPR RI pada 8 Juli 2025. “Model korporasi pakai nama rakyat ini bukan hal baru, tapi sekarang skalanya lebih terstruktur dan massif.”
Tesso Nilo, Simbol Krisis Tata Kelola
TNTN selama ini dikenal sebagai kawasan penting dengan keanekaragaman hayati tinggi. Namun, kawasan ini terus menyusut karena ekspansi sawit ilegal. Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang bekerja lintas lembaga termasuk bersama kepolisian, telah melakukan inventarisasi dan verifikasi lapangan terhadap praktik-praktik tersebut.
Baca juga: 194 Perusahaan Sawit Bermasalah, Izin Lahan Dipertanyakan
Dalam sejumlah kasus, Satgas menemukan bahwa perusahaan menggunakan skema kemitraan semu dengan warga. Hasil sawit dijual ke perusahaan melalui jalur legal, tetapi aktivitasnya jelas melanggar hukum karena dilakukan di kawasan konservasi.
Relokasi Warga, Tantangan Sosial dan Ekologis
Menghadapi situasi kompleks ini, Kemenhut tidak hanya mengedepankan pendekatan hukum. Pemerintah kini menempuh strategi soft power guna mencegah konflik horizontal. Salah satunya dengan menawarkan relokasi sukarela bagi warga yang benar-benar tinggal dan beraktivitas di lahan konservasi.
“Relokasi ini untuk warga yang terdampak langsung. Mereka diharapkan mau pindah secara mandiri, namun pemerintah tetap siapkan lahan relokasi,” jelas Raja Juli.

Lahan tersebut kini sedang dipersiapkan oleh Tim Percepatan Pemulihan Pasca Penguasaan (TP4) yang dibentuk oleh Gubernur Riau. Tim ini bertugas menyusun rencana relokasi, menyiapkan skema bantuan sosial, dan memastikan proses berlangsung secara adil dan terstruktur.
Upaya Pemulihan dan Pengembalian Fungsi Kawasan
Langkah-langkah penertiban telah menunjukkan hasil awal. Sejumlah pihak mulai menyerahkan kembali lahan sawit secara sukarela. Bahkan, dua operasi besar telah dilakukan untuk memusnahkan tanaman sawit ilegal: seluas 401 hektare pada 29 Juni dan 311 hektare pada 2 Juli 2025.
Baca juga: Sengkarut Lahan, Sertifikat di Kawasan Hutan Wajib Dibatalkan
Namun, tantangan masih besar. Tanpa pengawasan ketat dan penegakan hukum yang konsisten, kawasan konservasi seperti Tesso Nilo akan terus berada dalam ancaman.
Kasus ini menegaskan bahwa persoalan sawit ilegal bukan semata soal ekonomi, melainkan menyangkut tata kelola, integritas kebijakan, dan masa depan keberlanjutan lingkungan Indonesia. ***
- Foto: tntessonilo – Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, menjadi salah satu kawasan konservasi yang paling terancam akibat ekspansi perkebunan sawit ilegal yang mengatasnamakan rakyat.