DI TENGAH upaya mengejar ketahanan pangan di era krisis iklim, satu pertanyaan mendesak muncul, apakah makanan yang kita hasilkan masih bergizi?
Penelitian terbaru dari Liverpool John Moores University, Inggris, membuka tabir ancaman yang selama ini luput dari sorotan. Selama ini, diskusi publik dan ilmiah tentang perubahan iklim lebih sering berkutat pada kuantitas panen, berapa banyak padi yang bisa ditanam, berapa ton jagung yang dapat diproduksi.
Namun, studi yang dipimpin oleh Jiata Ugwah Ekele, seorang kandidat Ph.D. dari universitas tersebut, mengungkap sisi lain yang lebih krusial, kualitas nutrisi tanaman dalam skenario iklim masa depan.
Tanaman Tumbuh Besar, tapi Gizi Menyusut
Dengan menggunakan ruang pertumbuhan yang dikontrol secara ketat, tim peneliti mensimulasikan kondisi atmosfer di masa depan dengan kadar karbon dioksida (COâ‚‚) yang tinggi dan suhu yang lebih panas. Tanaman sayur seperti kangkung, bayam, dan arugula ditanam dan dianalisis untuk mengukur perubahan kadar gizi yang terjadi.
Hasilnya mengkhawatirkan. Meskipun tanaman tampak tumbuh lebih cepat dan besar, kandungan nutrisinya justru menyusut. Mineral penting seperti kalsium serta senyawa antioksidan mengalami penurunan signifikan. “Tanaman memang besar, tapi tidak lebih sehat,” ujar Ekele dikutip dari Phys.
Baca juga: Warisan Iklim, Beban Berat Anak-anak Era 2020 ke Atas
Dampak ini bahkan menjadi lebih parah ketika suhu ditingkatkan. Kombinasi COâ‚‚ tinggi dan stres panas menciptakan tekanan fisiologis pada tanaman yang menyebabkan penurunan lebih lanjut pada kandungan protein, flavonoid, dan vitamin.
Perubahan Iklim dan Nutrisi, Persoalan Tak Terlihat
Temuan ini menegaskan bahwa perubahan iklim tidak hanya memengaruhi hasil panen secara kuantitas, tetapi juga kualitas, yang justru berdampak langsung pada kesehatan manusia. Jika tren ini berlanjut, masyarakat dunia akan dihadapkan pada makanan yang tampak segar dan subur, namun miskin kandungan nutrisi.
Baca juga: Ketahanan Pangan Indonesia di Bawah Bayang-bayang Krisis Iklim

Ekele menambahkan bahwa setiap tanaman merespons perubahan iklim dengan cara berbeda. Artinya, adaptasi pertanian masa depan tidak bisa bersifat seragam. “Kita perlu memahami bagaimana spesies berbeda bereaksi terhadap tekanan lingkungan ini agar bisa menyusun strategi mitigasi yang tepat,” katanya.
Implikasi bagi Sistem Pangan Berkelanjutan
Bagi Indonesia dan negara-negara tropis lainnya yang sangat bergantung pada pertanian sayuran lokal, temuan ini merupakan sinyal peringatan. Praktisi pertanian dan pemangku kebijakan harus mulai mempertimbangkan kualitas gizi sebagai indikator utama keberhasilan produksi pangan, bukan sekadar volume hasil panen.
Baca juga: Sinyal Krisis Iklim, Indonesia Hadapi Cuaca Ekstrem hingga 2100
Inovasi pertanian presisi, pengelolaan iklim mikro, hingga pemuliaan tanaman tahan stres iklim menjadi semakin relevan. Di saat yang sama, pendekatan sistem pangan berkelanjutan harus mengintegrasikan perspektif gizi dalam kebijakan adaptasi iklim.
Tanpa itu, perubahan iklim bukan hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga memperburuk masalah gizi kronis yang telah lama membayangi masyarakat global. ***
- Foto: Wendy Wei/ Pexels – Sayuran segar seperti wortel, lobak, dan bit tampak melimpah di pasar lokal. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat menurunkan kandungan gizinya.


