Saatnya Akhiri Warisan Kolonial di Hutan Indonesia

SUDAH waktunya Indonesia melepaskan warisan kolonial dalam tata kelola hutan. Revisi Undang-Undang Kehutanan yang saat ini dibahas di DPR bukan hanya soal mengganti pasal, tapi soal mengganti paradigma.

Selama lebih dari dua dekade, UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 menjadi dasar hukum yang mengatur hutan dan pemanfaatannya. Namun, berbagai kalangan menilai undang-undang ini sudah tak relevan. Perspektif negara sebagai pemegang kendali tunggal telah menyingkirkan peran masyarakat adat dan lokal. Padahal mereka adalah penjaga hutan yang paling setia.

Dekolonisasi, Mengembalikan Hutan kepada Rakyat

“Dekolonisasi hutan harus dilakukan. Negara bukan lagi satu-satunya pengelola, masyarakatlah yang seharusnya menjadi aktor utama,” tegas Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yance Arizona.

Baca juga: Revisi UU Kehutanan, Ujian Keadilan bagi Masyarakat Adat

UU yang Lama, Masalah yang Berulang

Pandangan senada disampaikan peneliti ICEL, Difa Shafira. Menurutnya, naskah revisi UU Kehutanan yang disusun Badan Keahlian DPR dan Panja RUU belum menyentuh akar persoalan. “Masih dominan pendekatan negara-sentris. Padahal Indonesia punya komitmen global dalam menurunkan deforestasi melalui Nationally Determined Contribution (NDC),” ujar Difa.

Jalan yang membelah kawasan hutan di pedesaan Indonesia. Tata kelola hutan yang inklusif penting untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Foto: Tom Fisk/ Pexels.

RUU Kehutanan, jika disusun dengan paradigma baru, bisa menjadi pilar penting dalam menjaga kelestarian sumber daya alam. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal masa depan ekologi dan iklim.

Masyarakat Adat, Penjaga yang Terpinggirkan

Manajer Kebijakan Lingkungan dari Yayasan Kehati, Mohamad Burhanudin, menambahkan bahwa hutan harus dipandang sebagai sistem penyangga kehidupan. Bukan semata objek produksi.

Baca juga: Sengkarut Lahan, Sertifikat di Kawasan Hutan Wajib Dibatalkan

“Pendekatan hukum harus mengakui masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem. Mereka punya pengetahuan lokal dan nilai-nilai hidup yang sejalan dengan keberlanjutan,” kata Burhanudin. Ia mendorong agar prinsip ecological law diintegrasikan dalam revisi UU ini.

Namun tantangannya tak ringan. Akses masyarakat adat ke dalam proses pengambilan keputusan masih terbatas. Partisipasi publik belum menjadi arus utama dalam pembentukan kebijakan kehutanan. Sementara itu, tumpang tindih perizinan dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan besar terus memperburuk kerusakan hutan.

Baca juga: Hutan Tropis Indonesia, Aset Hijau Baru dalam Perdagangan Karbon Global

Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menyebut bahwa revisi ini seharusnya menjadi jalan menuju Undang-Undang Kehutanan baru yang lebih progresif. “Sudah saatnya UU Kehutanan berubah total, memenuhi aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis,” ujarnya.

Transformasi hukum kehutanan adalah momentum krusial. Bukan hanya untuk memperbaiki regulasi, tapi untuk mengembalikan hak, suara, dan ruang hidup masyarakat yang selama ini ditinggalkan. ***

  • Foto: Tom Fisk/ PexelsHamparan hutan hujan tropis Indonesia yang kaya biodiversitas. Revisi UU Kehutanan dinilai penting untuk menjaga kelestarian dan keadilan ekologis.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *