Mobilitas Berkelanjutan Berpotensi Tekan Emisi Transportasi hingga 76%

SAAT jalanan kota-kota besar di Indonesia semakin padat, langit makin kelabu oleh emisi kendaraan. Namun, laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menghadirkan harapan baru. Strategi terpadu berbasis prinsip Avoid-Shift-Improve (ASI) dinilai mampu memangkas emisi sektor transportasi hingga 76% pada 2060.

Dalam laporan bertajuk Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025, IESR menggarisbawahi bahwa sektor transportasi adalah salah satu penyumbang emisi terbesar, dengan kontribusi sekitar 25% terhadap total emisi energi nasional. Tanpa intervensi, angka ini bisa melonjak drastis.

“Jika strategi mobilitas berkelanjutan tidak segera diterapkan, kita akan menghadapi lonjakan emisi, krisis kesehatan akibat polusi udara, dan beban fiskal yang lebih berat karena tingginya impor BBM,” sebut CEO IESR, Fabby Tumiwa, Selasa (15/7).

Pendekatan ASI, Solusi Menyeluruh untuk Transportasi Bersih

Strategi ASI menawarkan pendekatan yang menyeluruh:

  • Avoid: mengurangi kebutuhan perjalanan dengan penataan ruang kota yang efisien.
  • Shift: mendorong penggunaan transportasi umum dan moda rendah emisi.
  • Improve: mempercepat adopsi teknologi ramah lingkungan, termasuk kendaraan listrik.

Baca juga: Eropa Pacu Infrastruktur Transportasi Hijau, Apa Peluang untuk Indonesia?

Menurut Fabby, kombinasi ketiga pendekatan ini harus dijalankan secara konsisten dan simultan. “Pemodelan kami menunjukkan bahwa pada 2050, jarak tempuh per kapita akan meningkat dua kali lipat. Tanpa strategi dekarbonisasi, kondisi lalu lintas dan kualitas udara akan memburuk,” ujarnya.

Transportasi Umum dan Kendaraan Listrik Jadi Kunci

Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR, Faris Adnan Padhilah, menambahkan bahwa strategi Shift memberikan dampak terbesar dalam pengurangan emisi. “Jika kita berhasil meningkatkan pangsa transportasi umum hingga 40%, maka emisi bisa ditekan hingga 101 juta ton CO₂e,” katanya.

Kepadatan lalu lintas di pusat kota Jakarta menunjukkan dominasi kendaraan pribadi. Tanpa peralihan ke transportasi publik dan teknologi rendah emisi, sektor ini berisiko menjadi penyumbang emisi terbesar di masa depan. Foto: Afif Ramdhasuma/ Pexels.

Sementara itu, pendekatan Improve, terutama melalui penetrasi kendaraan listrik, dengan proyeksi 66 juta mobil dan 143 juta motor listrik pada 2060, berpotensi menurunkan emisi hingga 210 juta ton CO₂e.

Baca juga: Jakarta di Tengah Polusi dan Misi Transportasi Hijau

Namun demikian, laporan IESR juga mencatat bahwa 24% emisi transportasi berasal dari sektor logistik dan transportasi barang yang belum tersentuh intervensi khusus. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk pengembangan kebijakan lebih lanjut.

Konsistensi dan Investasi Terpadu

Pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor transportasi didorong untuk mengadopsi strategi ASI secara menyeluruh, tidak setengah-setengah. Integrasi antar moda, investasi dalam infrastruktur publik, dan insentif adopsi kendaraan listrik menjadi langkah-langkah krusial yang perlu segera ditempuh.

Baca juga: Whoosh, Ketika Kecepatan Bertemu Kesadaran Iklim

Strategi mobilitas berkelanjutan bukan hanya soal mengurangi emisi. Ini juga tentang membangun kota yang lebih layak huni, memperbaiki kualitas udara, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan inklusif.

Dengan waktu yang semakin sempit, dekarbonisasi sektor transportasi tak bisa lagi ditunda. ***

  • Foto: Najwan Arfa/ PexelsBus listrik TransJakarta melintas di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Transportasi publik rendah emisi seperti ini menjadi bagian penting dari strategi mobilitas berkelanjutan untuk menekan emisi sektor transportasi.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *