MENJELANG pertemuan lanjutan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 yang akan digelar Agustus di Jenewa, tekanan dari dalam negeri terhadap pemerintah Indonesia semakin kuat. Para ahli dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menuntut pemerintah untuk berani mengambil langkah konkret: mengurangi produksi plastik dari hulu, bukan sekadar mengelola limbah di hilir.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Selama ini, pemerintah berdalih bahwa konsumsi plastik per kapita nasional masih rendah dibandingkan negara lain. Argumen itu terus dibawa ke forum global. Namun, menurut Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, pendekatan tersebut justru menyesatkan.
“Indonesia memang bukan pengguna plastik terbesar, tapi kita pengonsumsi mikroplastik tertinggi di dunia. Itu indikator yang lebih serius,” tegas Yuyun.
Baca juga: Bali Awali Perang Plastik dari Botol Air
Data dari Cornell University tahun 2024 memperkuat pernyataan tersebut. Masyarakat Indonesia mengonsumsi rata-rata 15 gram mikroplastik per bulan—setara dengan tiga kartu kredit. Polusi plastik bukan lagi isu lingkungan semata, tapi sudah menjadi masalah kesehatan dan sosial.
Industri Plastik Masih Dominan
Dari sisi ekonomi, industri plastik masih menjadi andalan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor karet dan plastik menyumbang 5,37% dari total output manufaktur nasional. Bahkan, nilai impor plastik naik tajam dalam dua tahun terakhir, dari US$ 7,15 miliar pada 2020 menjadi US$ 11,12 miliar pada 2022.
Baca juga: Produsen Plastik Wajib Tanggung Jawab, Akankah Industri Berubah?
Namun, di balik angka-angka itu, tersembunyi ongkos sosial dan lingkungan yang tidak pernah dimasukkan dalam hitungan. Studi Dietplastik Indonesia bersama Universitas Indonesia menunjukkan, biaya eksternalitas dari limbah plastik sachet dan pouch mencapai Rp 1,12 juta hingga Rp 1,67 juta per ton. Biaya ini mencakup kerusakan kesehatan, iklim, dan kenyamanan hidup masyarakat.

“Plastik murah karena biaya sebenarnya ditanggung publik. Kita butuh regulasi yang jujur menghitung biaya lingkungan,” kata Wakil Direktur Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara.
Guna Ulang, Solusi yang Harus Dijaga
Salah satu solusi yang kini mendapat sorotan adalah sistem guna ulang. Menurut Rahyang, desain produk yang bisa digunakan berulang kali dapat memangkas permintaan plastik baru hingga 80%, karena dampak lingkungan produk ditentukan sejak tahap desain.
“Reuse bukan hal baru. Tapi, komitmennya yang harus diperkuat. Sayangnya, beberapa produsen yang dulu sudah berpindah ke reuse, kini kembali ke plastik sekali pakai,” ungkap Rahyang.
Baca juga: Perundingan Plastik Global di INC-5 Berakhir Buntu
Beberapa regulasi nasional sudah mengakomodasi prinsip guna ulang. Namun, pelaksanaannya belum konsisten. Padahal, menurut Rahyang, Asia Tenggara—termasuk Indonesia—bisa menjadi pelopor dalam desain ulang produk plastik yang aman dan berkelanjutan.
Saatnya Indonesia Ambil Peran di Forum Global
Aliansi Zero Waste Indonesia berharap pemerintah tidak lagi bersembunyi di balik data per kapita. Komitmen Indonesia di forum global semestinya mencerminkan krisis nyata di dalam negeri: polusi plastik yang kian meluas, sistem pengelolaan limbah yang belum siap, dan produsen yang leluasa menghindari tanggung jawab.
Baca juga: Peneliti Temukan Cara Akurat Ukur Mikroplastik dalam Pangan Laut
Pertemuan INC 5.2 di Jenewa bukan hanya panggung diplomasi. Ini adalah momen bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dan keberanian dalam mendorong transisi menuju masa depan tanpa plastik sekali pakai. ***
- Foto: Ilustrasi/ Lucien Wanda/ Pexels – Sampah plastik menumpuk di tepi pantai, mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan sampah dan pola konsumsi sekali pakai.