448 Vila di Habitat Komodo, Apa Kata Kajian Lingkungan?

PULAU Padar di Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi bahan perdebatan publik. Rencana pembangunan fasilitas wisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) menuai penolakan dari aktivis lingkungan dan warganet. Mereka khawatir pembangunan akan merusak habitat satwa langka, komodo.

Sementara pemerintah menyatakan belum ada pembangunan yang dimulai, suara publik tetap nyaring. Gerakan #SavePulauPadar ramai di media sosial, mendesak agar rencana 448 vila dan fasilitas lainnya seperti restoran dan kapel dibatalkan.

Komplain ini bukan tanpa dasar. Kajian AMDAL menyebut, sejumlah titik pembangunan berada di kawasan komodo mencari makan. Jika pembangunan terus berlanjut tanpa perlindungan memadai, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keindahan lanskap, tapi masa depan spesies purba ini.

Habitat Komodo Terancam

Konsultasi publik yang digelar pada 23 Juli 2025 di Labuan Bajo, NTT, menyajikan temuan krusial. Lokasi pembangunan berada di lembah dan bukit yang menjadi jalur jelajah dan tempat makan komodo. Aktivitas manusia dan limbah dapur dari fasilitas pariwisata dikhawatirkan mengubah perilaku satwa liar ini.

Baca juga: Siapa Berhak atas Pantai Labuan Bajo?

Tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) merekomendasikan beberapa mitigasi, antara lain desain bangunan panggung (elevated), sistem pembuangan sisa makanan tertutup, hingga protokol interaksi manusia-satwa.

Namun, apakah mitigasi cukup jika pembangunan tetap mengubah lanskap alami Pulau Padar?

Pulau Padar, Nusa Tenggara Timur, salah satu kawasan konservasi di Taman Nasional Komodo yang kini jadi sorotan publik akibat rencana pembangunan 448 vila wisata di zona habitat komodo. Foto: Rizk Nas/ Pexels

Pemerintah Tahan Rem

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memastikan belum ada izin pembangunan dikeluarkan. Proses saat ini masih dalam tahap konsultasi publik atas dokumen Environmental Impact Assessment (EIA), dan keputusan akhir baru akan diambil setelah mendapat persetujuan World Heritage Center (WHC) dan IUCN.

Pemerintah juga menggarisbawahi bahwa pembangunan fasilitas wisata hanya bisa dilakukan di zona pemanfaatan, sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1990 dan UU No. 32/2024. PT KWE memang memiliki izin usaha sejak 2014, namun izin itu belum otomatis berarti lampu hijau untuk membangun.

Baca juga: Krisis Iklim, 3 Situs Warisan Dunia di Indonesia di Ujung Tanduk

“Kami tidak akan menyetujui pembangunan apa pun sebelum seluruh rekomendasi EIA dipenuhi dan tidak ada risiko terhadap nilai luar biasa universal (OUV) situs warisan dunia,” tegas Kemenhut.

Dilema Pembangunan Hijau

Indonesia berada di titik genting antara mengejar pertumbuhan ekonomi melalui sektor pariwisata, dan menjaga warisan ekologisnya yang tak tergantikan. Pulau Padar, sebagai bagian dari Taman Nasional Komodo, memegang status Warisan Dunia yang harus dijaga integritasnya.

Langkah pemerintah menahan proses sambil menunggu penilaian internasional patut diapresiasi. Namun, kepercayaan publik hanya bisa dibangun lewat transparansi, partisipasi, dan keberpihakan nyata pada konservasi.

Pembangunan pariwisata bisa menjadi berkah, asal dilakukan secara ilmiah, partisipatif, dan konservatif. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai awal dari punahnya spesies yang tak bisa tergantikan.***

  • Foto: Jeffry SS/ Pexels Dua ekor komodo di tepi pantai Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Rencana pembangunan ratusan vila wisata di Pulau Padar memicu kekhawatiran akan terganggunya habitat dan perilaku alami satwa purba ini.
Bagikan