POPULASI badak di Indonesia tinggal menghitung jari. Hanya 87–100 Badak Jawa tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, sementara Badak Sumatera kurang dari 100 ekor masih bertahan di kantong-kantong kecil di Sumatra dan Kalimantan. Angka ini menjadi peringatan keras. Tanpa upaya konservasi luar biasa, satwa purba ini bisa hilang dari bumi Nusantara.
Badak Jawa kini hanya bertahan di satu habitat, Ujung Kulon. Kondisi ini membuat spesies bercula satu itu sangat rentan terhadap penyakit, bencana alam, hingga perkawinan sedarah. Dengan ruang jelajah yang sempit, masa depan badak yang menjadi simbol Jawa itu semakin rapuh.
Badak Sumatera menghadapi tantangan lebih berat. Spesies bercula dua ini tersebar dalam kelompok kecil yang terfragmentasi. Sebaran yang terpisah membuat peluang kawin dan berkembang biak semakin kecil. Tanpa intervensi manusia, kemungkinan besar mereka tidak akan mampu bertahan.
Dari Sanctuary ke Teknologi DNA
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Satyawan Pudyatmoko menjelaskan berbagai langkah yang tengah dilakukan. Di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, pemerintah mengoperasikan Suaka Rhino Sanctuary untuk pengembangbiakan Badak Sumatera. Upaya penyelamatan juga dilakukan terhadap badak “Pari” di Suaka Kelian, Kalimantan Timur, serta pembangunan Suaka Badak Sumatera di Aceh Timur.
Baca juga: Pulau Kelawasan, Oase Baru Orangutan di Jantung IKN
Kemitraan dengan IPB University, Yayasan Badak Indonesia (YABI), dan mitra internasional menghasilkan pengembangan Assisted Reproductive Technology (ART) dan Biobank. Teknologi ini penting untuk menjaga keragaman genetik ketika jumlah badak di alam semakin sedikit.
Di lapangan, Rhino Protection Unit (RPU) menjadi garda terdepan. Mereka melakukan patroli, pemantauan, hingga penegakan hukum terhadap perburuan liar. Operasi “Merah Putih” di Ujung Kulon bahkan disiapkan untuk translokasi Badak Jawa agar populasinya tidak terpusat di satu lokasi.

Upaya itu semakin kuat dengan pemanfaatan teknologi. Kamera jebak, drone, analisis DNA lingkungan, hingga anjing K-9 digunakan untuk memantau keberadaan badak. Teknologi ini membuka peluang baru dalam memetakan pergerakan dan kesehatan satwa yang sulit dilihat secara langsung.
Dimensi Sosial dan Martabat Bangsa
Konservasi badak bukan hanya soal melestarikan satwa, tetapi juga menyangkut ekosistem, ekonomi lokal, dan martabat bangsa. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menekankan, kerja sama lintas sektor adalah kunci. “Yang dapat kita lakukan adalah bekerja sama secara serius bergandengan tangan,” ujarnya.
Baca juga: Darurat Ekologi, Satwa Liar Sumatera dan Sulawesi Terdesak Perkebunan dan Tambang
Masyarakat desa penyangga kini ikut dilibatkan dalam patroli dan ekowisata. Edukasi publik juga terus digencarkan untuk membangun kesadaran bahwa menyelamatkan badak berarti menyelamatkan hutan tropis dan seluruh satwa di dalamnya.

Badak adalah spesies payung (umbrella species). Jika mereka terlindungi, ekosistem hutan ikut terjaga. Sebaliknya, jika punah, dunia akan kehilangan salah satu warisan genetik paling berharga.
Baca juga: Primata Kita di Ambang Punah: Alarm Global, Tanggung Jawab Nasional
Indonesia dihadapkan pada pilihan tegas. Membiarkan badak tinggal cerita, atau menjadikannya simbol keberhasilan diplomasi lingkungan di tingkat global. Masa depan badak adalah cermin keseriusan bangsa dalam menjaga warisan alamnya. ***
- Foto: Yayasan Badak Indonesia – Seekor Badak Jawa terekam sedang menyeberangi sungai di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Populasinya kini tinggal 87–100 ekor.