Peta Zona Iklim Indonesia, Langkah Strategis untuk Keberlanjutan

INDONESIA, negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Untuk menghadapi perubahan iklim dan cuaca ekstrem, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meluncurkan buku terbaru berjudul Peta Zona Iklim di Indonesia.

Diluncurkan pada 1 Oktober 2024, peta ini mengusung inovasi dengan memperluas pembagian zona iklim dari empat menjadi delapan. Hasil kolaborasi bersama Kagoshima University, Hiroshima University, dan Japan International Cooperation Agency (JICA), peta ini menjadi panduan penting dalam perencanaan infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam.

Mengapa Peta Zona Iklim Penting?

Cuaca ekstrem semakin sering melanda, memengaruhi berbagai sektor, termasuk pertanian, energi, dan konstruksi. Dengan peta zona iklim terbaru, Indonesia memiliki alat strategis untuk menghadapi dampak perubahan iklim.

PUPR mengharapkanpPeta ini menjadi referensi dalam pengembangan infrastruktur nasional yang berkelanjutan. Selain itu, informasi ini juga mendukung pembangunan gedung ramah lingkungan yang sesuai dengan karakteristik iklim setempat.

Delapan Zona Iklim Baru Indonesia

Dalam buku tersebut, Indonesia kini dibagi menjadi delapan zona iklim berdasarkan berbagai unsur, seperti suhu, radiasi matahari, dan kecepatan angin.

  1. Zona 1A (Ekuator): Wilayah dekat garis khatulistiwa dengan suhu tinggi sepanjang tahun.
  2. Zona 1B (Sub-Ekuator): Kepulauan Maluku, Bangka Belitung, dan Riau. Dipengaruhi oleh monsun dengan perubahan suhu dan angin yang kecil.
  3. Zona 2A (Dataran Tinggi Tropis): Wilayah di atas 700 meter seperti Kerinci, Jambi, dengan suhu rendah dan curah hujan tinggi.
  4. Zona 2B (Pegunungan Tinggi): Daerah seperti Wamena, Papua, dengan curah hujan tertinggi, suhu dingin, dan angin kencang.
  5. Zona 3A (Monsunal): Meliputi sebagian besar Jawa dan Sulawesi, memiliki musim hujan dan kemarau yang jelas.
  6. Zona 3B (Sub-Monsunal): Karakter serupa dengan 3A, namun dengan perbedaan musim yang kurang tegas.
  7. Zona 4A (Sabana): Kepulauan Nusa Tenggara dengan musim kemarau panjang, radiasi matahari tinggi, dan angin kencang.
  8. Zona 4B (Sub-Sabana): Pulau Madura, memiliki variabilitas suhu yang lebih kecil dibanding zona 4A.
Peta Zona Iklim Indonesia: Delapan zona iklim baru untuk memahami suhu, radiasi matahari, hingga kecepatan angin di seluruh nusantara. Tangkapan layar Instagram Kementerianpu

Manfaat Langsung bagi Keberlanjutan

Bagi para praktisi dan pemerhati isu keberlanjutan, peta ini menawarkan peluang baru untuk memahami dan merancang strategi adaptasi.

  • Perencanaan Infrastruktur: Zona iklim menjadi panduan dalam memilih desain dan material bangunan yang sesuai, terutama untuk menghadapi suhu ekstrem dan angin kencang.
  • Pengelolaan Pertanian: Informasi zona membantu petani menentukan jadwal tanam dan jenis tanaman yang paling cocok untuk setiap wilayah.
  • Energi Terbarukan: Wilayah dengan radiasi matahari tinggi, seperti Nusa Tenggara, dapat memanfaatkan potensi energi surya secara maksimal.

Kolaborasi Internasional untuk Indonesia yang Lebih Tangguh

Proyek ini adalah bukti nyata bagaimana kolaborasi global dapat memberikan dampak positif. Dukungan JICA bersama dua universitas Jepang menunjukkan pentingnya berbagi pengetahuan dalam mengatasi tantangan iklim.

Menurut BMKG, data dalam peta ini akan terus diperbarui untuk mencerminkan perubahan iklim terbaru. Dengan demikian, Indonesia dapat tetap tanggap terhadap perubahan iklim global.

Baca juga: ADB Genjot Pinjaman Iklim Demi Masa Depan Asia

Buku Peta Zona Iklim di Indonesia dapat diunduh secara gratis melalui situs resmi Kementerian PUPR dan BMKG. Ini membuka peluang bagi masyarakat luas untuk terlibat aktif dalam memahami dan mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Peluncuran peta zona iklim ini adalah langkah besar bagi Indonesia dalam mengintegrasikan keberlanjutan dalam pembangunan. Namun, tantangan tetap ada. Semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, perlu bekerja sama untuk memanfaatkan peta ini sebagai alat strategis. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *