Pendanaan Iklim Belum Temui Titik Terang di COP29

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB, COP29, yang dijadwalkan berakhir hari ini, Jumat (22/11), masih terjebak dalam tarik ulur pendanaan iklim. Negosiasi yang seharusnya fokus pada kesepakatan besar terkait pendanaan dari negara-negara maju untuk membantu negara berkembang, justru menemui jalan buntu.

Salah satu target utama perundingan adalah menetapkan besaran kontribusi tahunan guna mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, hingga hari terakhir, perdebatan masih berlangsung sengit. Dokumen negosiasi setebal 10 halaman kini telah dipangkas menjadi kurang dari setengahnya, tetapi tetap menyisakan banyak isu krusial yang belum terselesaikan.

Ketegangan di Tengah Tenggat

Teks perundingan terbaru, yang seharusnya menjadi landasan diskusi, tiba terlambat beberapa jam dari jadwal. Dengan waktu yang semakin sempit, negosiasi memperlihatkan jurang perbedaan antara negara-negara maju dan berkembang.

Komisaris Iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, menyoroti ketidakberimbangan dokumen tersebut. “Teks yang ada saat ini tidak seimbang, tidak dapat diterapkan, dan tidak dapat diterima,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua negosiator COP29, Yalchin Rafiyev, menyerukan agar semua pihak lebih terbuka dan fleksibel. “Kami harus meletakkan semua kartu di atas meja untuk mencari solusi yang adil,” tegasnya dalam sesi pleno.

Persilangan Kepentingan

Draf teks yang ada menunjukkan dua opsi utama. Opsi pertama, yang didukung negara berkembang, menginginkan pendanaan berupa hibah atau setara hibah tanpa kontribusi dari negara-negara berkembang. Opsi kedua, yang diusulkan negara maju, memperluas definisi pendanaan untuk mencakup kontribusi berbagai pihak, termasuk dari negara berkembang.

Baca juga: Menggugat Dana Perusak Alam di COP29

Kedua opsi ini menghindari mencantumkan angka spesifik untuk kontribusi tahunan, menyisakan ruang kosong bertanda ‘X’. Kepresidenan COP29 berjanji untuk menerbitkan versi teks baru dalam semalam dengan angka yang lebih konkret.

Namun, waktu yang tersisa hanya 48 jam membuat banyak pihak pesimistis akan tercapainya kesepakatan.

Pendanaan iklim masih buntu di COP29. Foto: Cfr.

Bahan Bakar Fosil di Pusaran Isu

Selain pendanaan, masa depan bahan bakar fosil menjadi topik panas. Menteri Perubahan Iklim Australia, Chris Bowen, menilai bahwa teks perundingan saat ini justru melemahkan komitmen COP28 di Dubai tahun lalu untuk transisi dari bahan bakar fosil.

“Kita seharusnya melanjutkan kemajuan yang telah kita capai. Tetapi, teks ini adalah langkah mundur yang tidak dapat diterima,” kata Bowen.

Namun, Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, menyatakan bahwa keputusan Dubai adalah menu opsi, bukan kewajiban. “Tidak semua negara harus memilih jalan yang sama untuk masa depan energi mereka,” ujarnya.

Krisis dan Jalan Keluar

Perubahan iklim, yang sebagian besar dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, telah menyebabkan suhu global naik 1,3°C sejak era pra-industri. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas ekstrem kini menjadi lebih sering dan intens.

Baca juga: ADB Genjot Pinjaman Iklim Demi Masa Depan Asia

Para ilmuwan memperingatkan bahwa dunia kemungkinan besar akan melewati ambang batas kenaikan suhu 1,5°C pada awal 2030-an, yang dapat memperburuk dampak iklim.

Pendanaan iklim menjadi kunci untuk membatasi dampak ini, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Tetapi tanpa angka konkret dan komitmen bersama, tujuan itu terasa semakin jauh dari kenyataan.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Dengan waktu yang semakin menipis, semua mata tertuju pada Azerbaijan sebagai pemimpin COP29. Keberhasilan konferensi ini sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menjembatani perbedaan antarnegara.

Baca juga: Negara-negara Penjaga Oksigen Bumi

Namun, di balik perdebatan, tekanan dari aktivis dan komunitas global terus menguat. Mereka berharap COP29 tidak hanya menjadi panggung perdebatan, tetapi juga menghasilkan langkah nyata untuk melindungi planet ini bagi generasi mendatang. ***

  • Foto: Pixabay/Pexels Kekeringan melanda lahan pertanian, dampak nyata perubahan iklim yang semakin parah. Solusi global menjadi kebutuhan mendesak untuk masa depan bumi.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *