KEPUTUSAN Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk kembali menarik negara tersebut dari Perjanjian Iklim Paris semakin memicu perdebatan di kalangan praktisi dan pemerhati isu keberlanjutan. Meski Perjanjian Paris bukanlah sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum, dokumen ini menjadi landasan kerja sama global dalam mengatasi pemanasan global.
Bagaimana dampak keputusan ini bagi dunia dan Indonesia, terutama dalam memerangi krisis iklim yang kian mendesak?
Pada 2017, Trump mengejutkan dunia dengan menarik AS dari Perjanjian Paris, menyatakan bahwa ia lebih mewakili kepentingan masyarakat Pittsburgh daripada Paris. Namun, setelah Joe Biden menjabat pada 2021, kebijakan tersebut dibatalkan, dan AS kembali bergabung dalam usaha global untuk membatasi kenaikan suhu global. Kini, Trump berkomitmen kembali untuk mengakhiri partisipasi AS dalam perjanjian tersebut, sebuah langkah yang diambil di tengah suhu global yang telah melonjak lebih dari 1,5 derajat Celcius pada 2024.
Menanggapi ‘Keadaan Darurat Energi Nasional’
Keputusan tersebut didorong oleh pengumuman Gedung Putih mengenai “keadaan darurat energi nasional.” Trump menyatakan bahwa langkah ini memungkinkan pemerintahannya untuk membalikkan regulasi iklim yang diterapkan oleh era Biden, serta memperbesar produksi minyak dan gas.
Presiden AS ke-47 ini mengungkapkan rencananya untuk menggandakan eksplorasi bahan bakar fosil, dengan harapan bisa mengendalikan harga energi dan mengisi cadangan strategis negara. “Kami akan terus mengebor, sayang, mengebor,” ujar Trump dalam pidatonya.
Baca juga: PBB: Krisis Iklim Semakin Parah, Dunia Harus Bertindak Sekarang
Namun, meski AS telah mengalami lonjakan signifikan dalam produksi energi, langkah ini tak terlepas dari kritik. Penggunaan bahan bakar fosil yang lebih masif tentu mengancam komitmen global untuk mengurangi emisi karbon dan memitigasi dampak perubahan iklim.
Dampak Ekonomi Global dan Posisi Indonesia
Presiden Trump juga berencana untuk membatalkan kebijakan ramah lingkungan yang dipromosikan oleh pemerintahan sebelumnya, termasuk program energi bersih yang terwujud dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA). Meskipun upaya ini dipandang sebagai solusi untuk menurunkan harga energi domestik, dampaknya bisa jauh lebih besar.

Badan iklim PBB, melalui Kepala Simon Stiell, memperingatkan bahwa penolakan terhadap energi bersih bisa mengakibatkan kerugian besar bagi ekonomi AS. Amerika berpotensi kehilangan peluang dari ledakan energi bersih global yang diperkirakan mencapai nilai US$2 triliun.
Baca juga: 2035: Ancaman Iklim, Polusi, dan Risiko Teknologi Mengintai Dunia
Perhatian khusus diberikan pada kerugian jangka panjang akibat perubahan iklim, seperti peningkatan intensitas kekeringan, kebakaran hutan, dan badai yang merusak infrastruktur serta mengganggu produksi pangan. Pihak PBB menekankan bahwa negara-negara pesaing AS, yang telah mengadopsi kebijakan energi bersih, berpotensi meraih keuntungan besar dalam era transisi energi terbarukan.
Isu Keberlanjutan di Indonesia
Keputusan AS untuk menarik diri dari Perjanjian Paris datang saat dunia membutuhkan komitmen yang lebih kuat untuk mencapai target pengurangan emisi karbon. Di Indonesia, negara berkembang dengan tantangan signifikan terkait dampak perubahan iklim, langkah ini memberikan perspektif penting. Indonesia, yang rentan terhadap bencana alam dan perubahan iklim, perlu memanfaatkan peluang dalam transisi energi bersih dan memperkuat kebijakan keberlanjutan.
Baca juga: Kolaborasi Indonesia-AS untuk Transisi Energi Bersih
Kebijakan yang mengutamakan energi bersih, seperti investasi dalam energi terbarukan dan pengembangan kendaraan listrik, dapat membuka jalan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sementara itu, sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata juga membutuhkan adaptasi terhadap perubahan iklim yang semakin nyata. Kolaborasi internasional dalam mitigasi dan adaptasi akan sangat penting bagi Indonesia untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.
Tantangan Global dan Harapan Bersama
Dengan langkah mundur AS dari komitmen global untuk perubahan iklim, negara-negara seperti Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan. Kendati ada perbedaan politik yang mencolok, PBB tetap menegaskan pentingnya keterlibatan konstruktif dari seluruh negara, termasuk AS. “Pintu tetap terbuka untuk perjanjian Paris,” kata Simon Stiell, menandakan bahwa upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim belum berakhir.
Baca juga: Sidang ICJ, Negara Kaya dan Kepulauan Kecil Bersitegang soal Keadilan Iklim
Indonesia, dengan potensi besar dalam energi terbarukan, harus menjaga momentum dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Meskipun tantangan global semakin berat, kerja sama internasional dan kebijakan yang progresif di tingkat nasional akan membawa dampak positif bagi masa depan bumi dan generasi mendatang. ***
- Foto: X/ @Martyk77.