B50 dan Dilema Lahan, Mampukah Indonesia Menyediakannya?

PEMERINTAH Indonesia bersiap melangkah lebih jauh dalam transisi energi dengan rencana implementasi biodiesel 50 persen (B50) pada 2026. Langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi ketergantungan impor solar dan memperkuat ketahanan energi nasional. Namun, tantangan besar muncul terkait kebutuhan lahan yang luas untuk mendukung produksi bahan bakunya.

Berdasarkan perhitungan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi B50 dengan volume 19,73 juta kiloliter (kl) membutuhkan sekitar 17,9 juta ton minyak sawit mentah (CPO). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, memerlukan tambahan lahan sawit sekitar 2,3 juta hektare—setara dengan empat kali luas Pulau Bali.

Jika skema ini berlanjut hingga implementasi biodiesel 100 persen (B100), angka ini melonjak drastis. Produksi B100 yang proyeksinnya mencapai 39,45 juta kl membutuhkan 35,9 juta ton sawit dengan tambahan lahan mencapai 4,6 juta hektare.

Baca juga: Biodiesel B40 dan B50, Langkah Indonesia Menuju Kemandirian Energi

Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyebut pemerintah membuka opsi pemanfaatan kebun rakyat dan koperasi untuk menekan kebutuhan ekspansi lahan baru. Namun, pertanyaan besar tetap mengemuka: sejauh mana efektivitas kebijakan ini dalam menghindari deforestasi?

Ekspor Distop, Minyak Jelantah Menumpuk

Di sisi lain, kebijakan pembatasan ekspor minyak jelantah dan residu sawit berimbas pada menumpuknya bahan baku yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk produksi biofuel. Pemerintah berencana meningkatkan pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan campuran biodiesel guna mengurangi ketergantungan pada sawit segar. Namun, masih terdapat kendala teknis dan regulasi yang menghambat optimalisasi skema ini.

Baca juga: Ekspor Limbah Sawit Diperketat, Prioritas untuk Industri Domestik dan B40

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani, pemerintah sedang melakukan kajian teknis terkait implementasi B50. Uji coba berlangsung selama enam bulan dan mencakup berbagai sektor, seperti industri, maritim, pertambangan, pertanian, dan otomotif.

Pemerintah bersiap menerapkan B50 pada 2026, namun tambahan 2,3 juta hektare lahan sawit jadi tantangan besar. Foto: Ilustrasi/ Mohan Nannapaneni/ Pexels.

“Persiapan menuju B50 telah berjalan dengan pengujian teknis di berbagai sektor. Selain itu, kami juga mengkaji aspek ekonomi agar harga bahan bakar tetap terjangkau bagi konsumen,” ujar Eniya.

Dampak Lingkungan dan Alternatif Bahan Baku

Salah satu perhatian utama dalam ekspansi biodiesel adalah dampaknya terhadap lingkungan. Konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit, misalnya, dapat meningkatkan emisi karbon hingga 38 persen. Jika ekspansi perkebunan terus berlangsung tanpa strategi keberlanjutan yang matang, dampaknya bisa kontraproduktif terhadap target penurunan emisi Indonesia.

Baca juga: B40, Langkah Besar Indonesia Menuju Energi Hijau 2025

Untuk mengurangi tekanan terhadap lahan, pemerintah dan sektor swasta mulai mengeksplorasi alternatif bahan baku biofuel, seperti mikroalga, jarak pagar, dan minyak jelantah. Namun, pengembangannya masih terbatas pada tahap riset dan belum terimplementasikan secara luas.

Menuju 2026, Kedaulatan Energi vs Keberlanjutan

Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan percepatan implementasi B50 sebagai bagian dari strategi ketahanan energi nasional. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia optimistis kebijakan ini dapat menghilangkan impor solar sepenuhnya pada 2026.

Namun, untuk memastikan keberhasilan program ini tanpa mengorbankan lingkungan dan masyarakat, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik. Pemanfaatan limbah minyak, optimalisasi kebun rakyat, dan investasi dalam bahan baku alternatif harus menjadi bagian dari solusi jangka panjang.

Jika tidak, transisi energi ini justru bisa menimbulkan paradoks baru: energi yang lebih bersih, tetapi dengan biaya ekologis yang tinggi. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *