“Buy Now”, Konspirasi Belanja Massal yang Mengancam Bumi

DI BALIK klik mudah “beli sekarang”, tersembunyi konspirasi besar yang menggerus bumi. Itulah benang merah dari Buy Now: The Shopping Conspiracy, dokumenter Netflix yang membongkar wajah gelap konsumsi global.

Film garapan Nic Stacey ini tak sekadar mengkritik kebiasaan belanja. Dokumenter ini menyeret kita masuk ke ruang rahasia perusahaan-perusahaan raksasa: Amazon, Apple, Adidas, dan para raja e-commerce dunia. Semua punya satu kesamaan: mendorong konsumen membeli lebih banyak, lebih cepat, dan lebih sering.

Kenyamanan yang Mengandung Racun

“Kami menciptakan sistem di mana membeli itu sangat, sangat mudah. Bahkan, terlalu mudah,” ungkap Maren Costa, mantan desainer UX Amazon. Ia membuka praktik one-click buying yang memotong jarak antara keinginan dan transaksi. Hasilnya, konsumen seperti diprogram untuk terus berbelanja, bahkan tanpa sadar.

Baca juga: Mikroplastik di Tanah Pertanian, Ancaman Diam-diam dari Ladang Makanan Kita

Namun di balik kenyamanan itu, ada tumpukan masalah yang menggunung: limbah elektronik, baju bekas, hingga emisi karbon. Eric Liedtke, eks eksekutif Adidas, mengakui bagaimana industri fashion berperan besar. “Kami memproduksi miliaran pakaian setiap tahun. Banyak di antaranya berbahan dasar plastik, yang tidak akan pernah benar-benar terurai,” katanya.

Merancang agar Cepat Rusak

Bukan hanya fashion. Dunia elektronik juga tak kalah bermasalah. Banyak produsen merancang perangkat yang sulit diperbaiki. Baterai yang tertanam permanen, komponen yang tak bisa diganti. Semua agar konsumen membeli produk baru sesering mungkin. “Sebenarnya bisa dibuat tahan lama. Tapi itu bukan bisnis yang menguntungkan,” beber Narav Patel, mantan insinyur Apple dan Oculus.

Baca juga: Circular Fashion: Gaya Keren Tanpa Limbah, Mungkinkah?

Cuplikan trailer “Buy Now: The Shopping Conspiracy” di Netflix yang mengungkap sisi gelap budaya konsumsi global.

Buy Now tidak sekadar mengandalkan wawancara. Film ini menggunakan narator AI bernama Sasha yang berbicara bak juru bicara korporasi. “Kenyamanan adalah produk terbaik kami,” ucap suara AI dingin itu. Narasi ini mempertegas ironi: efisiensi industri dibayar mahal oleh lingkungan.

Beban Global ke Negara Berkembang

Di tengah sorotan, film ini juga menyingkap praktik greenwashing. Banyak perusahaan mengklaim ramah lingkungan, padahal sekadar mempercantik citra. Mereka mendaur ulang sebagian kecil produk, sambil tetap memproduksi dalam jumlah masif.

Praktik konsumsi seperti ini berdampak besar bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Limbah elektronik dan tekstil dari negara maju sering berakhir di TPA lokal, mencemari air dan tanah. Belum lagi tekanan pada rantai pasok global yang memanfaatkan buruh murah dari Asia Tenggara.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

Bagi praktisi keberlanjutan, film ini jadi pengingat bahwa solusi tak cukup dari sisi konsumen. Regulasi, inovasi desain produk, dan transparansi rantai pasok adalah kunci. “Kita harus mendesain ulang sistemnya, bukan sekadar menyalahkan pembeli,” tegas Costa.

Film berdurasi 84 menit ini memang dikritik sebagian pengamat karena efek visualnya yang berlebihan. Namun pesannya jelas: kebiasaan belanja impulsif global telah berubah menjadi mesin penghancur bumi.

Sebagaimana disimpulkan Liedtke, “Selama kita terus menciptakan keinginan artifisial, planet ini akan terus menanggung beban.”

Saatnya kita bertanya: apakah kenyamanan berbelanja sepadan dengan krisis yang sedang kita warisi? ***

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *