Cuaca Kacau, Pangan Terancam: Indonesia Butuh Adaptasi Iklim

POLA cuaca di Indonesia kini makin sulit ditebak. Musim hujan datang tak menentu, kemarau lebih panjang dari biasanya. Bagi sebagian besar masyarakat kota, ini hanya jadi keluhan ringan. Tapi bagi petani, ini soal hidup dan mati. Perubahan iklim global telah menyusup ke dapur kita, mengancam masa depan pangan nasional.

Fenomena ini bukan sekadar kabar buruk dari luar negeri. Studi paleoklimatologi terbaru yang terbit di Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology mengungkap dampak pencairan es di Atlantik terhadap sirkulasi musim hujan di Asia Tenggara. Hasilnya mengejutkan. Sebagian kawasan tropis, termasuk Indonesia, berisiko mengalami kekeringan yang lebih sering dan lebih panjang.

“Fluktuasi iklim global memengaruhi dinamika hujan di Indonesia. Ini bukan sekadar gangguan musiman, tapi sinyal perubahan besar yang perlu kita antisipasi,” kata Pakar Agrometeorologi dan Perubahan Iklim dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho.

Ketahanan Pangan Ada di Hulu

Ia menjelaskan, menguatnya monsun Indo-Australia, yang membuat Australia bagian utara lebih basah, justru mempercepat pelemahan musim hujan di wilayah utara, termasuk Asia Tenggara. Indonesia pun masuk dalam jalur risiko. Jika ini terus dibiarkan, pertanian nasional bisa lumpuh akibat kekeringan dan gagal panen beruntun.

Baca juga: Krisis Iklim Diam-diam Menggerus Nutrisi Pangan Kita

Namun, tantangan terbesar bukan hanya perubahan iklim itu sendiri, tapi juga lemahnya data cuaca di Indonesia. Menurut Bayu, kurangnya kualitas dan konsistensi data membuat prediksi cuaca sulit dilakukan secara akurat. Ini menghambat pengambilan keputusan di sektor vital seperti pertanian dan pengelolaan air.

Seorang petani memikul panenan daun segar dari ladang menuju tempat pengumpulan. Di tengah tantangan iklim yang berubah, mereka tetap menjadi garda terdepan penyedia pangan. Foto: Debendra Das/ Pexels.

Untuk itu, ia mendorong langkah-langkah konkret dari hulu berupa pembangunan embung, pemanfaatan air tanah, serta penguatan sistem peringatan dini berbasis dampak. Petani harus bisa tahu kapan menanam dan kapan menunda. Infrastruktur irigasi juga harus direvitalisasi, dan riset terhadap bibit tahan kekeringan menjadi prioritas.

Baca juga: Ketahanan Pangan Indonesia di Bawah Bayang-bayang Krisis Iklim

Tapi, upaya adaptasi tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau ilmuwan. Bayu menekankan pentingnya sinergi antara riset ilmiah, kebijakan publik, dan inovasi teknologi. Bahkan, kerja sama internasional dalam pengembangan sistem prediksi bersama serta pertukaran data cuaca menjadi hal mendesak.

Adaptasi Iklim Butuh Semua Orang

Kesadaran masyarakat juga perlu dibangun. Literasi iklim harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. “Perubahan besar dimulai dari tindakan kecil,” ujar Bayu. Ia mencontohkan, berjalan kaki, menghemat air, menanam pohon, menjaga tanah. Semua itu, jika dilakukan bersama, bisa mengurangi tekanan terhadap bumi.

Baca juga: Sinyal Krisis Iklim, Indonesia Hadapi Cuaca Ekstrem hingga 2100

Generasi muda punya peran penting dalam mendorong transformasi ini. Dengan keterlibatan mereka, harapan pada masa depan pertanian yang tangguh dan sistem pangan yang berkelanjutan masih terbuka lebar.

Namun waktu kita tidak banyak. Jika tidak segera bergerak, Indonesia bukan hanya menghadapi musim kering yang lebih panjang, tetapi juga masa depan pangan yang rapuh. Adaptasi harus dimulai sekarang. Dari kebijakan, dari teknologi, dan dari kesadaran tiap individu.***

  • Foto: Pixabay/ PexelsSeorang petani memikul bibit padi yang baru disiram di area persawahan. Di tengah cuaca yang makin tak menentu, mereka tetap bertahan menjaga rantai pangan Indonesia.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *