PEMERINTAH Indonesia resmi memperketat ekspor limbah kelapa sawit, termasuk Palm Oil Mill Effluent (POME), residu minyak sawit asam tinggi (HAPOR), dan minyak jelantah (UCO). Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 2/2025, yang mulai berlaku pada 8 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dan mendukung program biodiesel berbasis minyak sawit 40% (B40).
Industri Domestik Jadi Prioritas
Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan arahan langsung dari Presiden. Fokus utamanya adalah menjaga pasokan minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk mendukung kebutuhan domestik. “Prioritas kami adalah ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng rakyat dan keberhasilan implementasi B40,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Langkah ini tak terlepas dari data yang menunjukkan dominasi ekspor POME dan HAPOR selama beberapa tahun terakhir. Sepanjang Januari-Oktober 2024 saja, ekspor kedua residu ini mencapai 3,45 juta ton, melampaui ekspor CPO yang hanya 2,7 juta ton.
Baca juga: B40, Langkah Besar Indonesia Menuju Energi Hijau 2025
Pada 2023, ekspor POME dan HAPOR bahkan mencapai 4,87 juta ton, hampir 35% lebih besar dibandingkan ekspor CPO. Dalam lima tahun terakhir, ekspor POME dan HAPOR tumbuh rata-rata 20,74% per tahun, sementara ekspor CPO justru menurun 19,54% per tahun.
Mengatasi Pengalihan TBS untuk Residu
Salah satu kekhawatiran yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah pola pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah menjadi POME dan HAPOR, sering kali dengan mengorbankan produksi CPO. Proses ini dilakukan oleh sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) kecil, yang dikenal sebagai PKS berondolan. Akibatnya, PKS konvensional kesulitan mendapatkan pasokan TBS yang cukup. “Jika kondisi ini terus berlanjut, akan berdampak buruk pada ketersediaan CPO untuk kebutuhan dalam negeri,” ungkap Budi.
Regulasi Baru dalam Permendag No 2/2025
Permendag No 2/2025 mengatur lebih rinci persyaratan ekspor residu kelapa sawit. Salah satu poin pentingnya adalah kewajiban pembahasan alokasi ekspor dalam rapat koordinasi antarkementerian sebelum mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE). Ekspor hanya dapat dilakukan setelah mendapat PE, dengan ketentuan laporan berkala kepada pemerintah setiap tanggal 15.
Baca juga: Biodiesel B40 dan B50, Langkah Indonesia Menuju Kemandirian Energi
Eksportir yang tidak melaporkan realisasi ekspor akan menerima sanksi berupa peringatan, pembekuan PE, atau penangguhan izin. Sanksi ini diatur secara tegas dalam Pasal 24 Permendag No 2/2025.

Bagi eksportir yang telah memiliki PE berdasarkan aturan sebelumnya (Permendag No 26/2024), izin tersebut tetap berlaku hingga masa berlakunya habis. Namun, kewajiban melaporkan realisasi ekspor tetap harus dipenuhi.
Memperkuat Ekosistem Industri Dalam Negeri
Pengetatan ekspor residu kelapa sawit di satu sisi menciptakan tantangan bagi eksportir yang selama ini bergantung pada pasar internasional. Namun, kebijakan ini membuka peluang untuk memperkuat ekosistem industri dalam negeri, khususnya sektor minyak goreng rakyat dan biodiesel.
Selain itu, kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mengurangi pengalihan CPO ke produk residu yang memiliki nilai tambah rendah. Dengan demikian, pemerintah berharap dapat menciptakan keseimbangan antara ekspor dan kebutuhan domestik yang berkelanjutan.
Baca juga: Sawit Rakyat, Peluang Baru dari Penundaan Kebijakan Uni Eropa
Namun, pengawasan ketat terhadap implementasi aturan ini menjadi kunci keberhasilan. Transparansi dan konsistensi pemerintah dalam mengawasi ekspor residu akan menentukan seberapa efektif kebijakan ini dalam menjamin pasokan bahan baku bagi industri dalam negeri.
Masa Depan Industri Kelapa Sawit
Dengan regulasi baru ini, Indonesia mengirimkan sinyal kuat bahwa keberlanjutan dan kemandirian industri kelapa sawit menjadi prioritas. Kebijakan ini tak hanya mengedepankan kepentingan ekonomi, tetapi juga mendukung inisiatif lingkungan melalui implementasi biodiesel B40 yang lebih hijau dan ramah lingkungan.
Baca juga: Industri Sawit Optimistis Hadapi Tantangan Global
Bagi para pelaku industri, penyesuaian strategi bisnis menjadi keharusan untuk tetap kompetitif di tengah perubahan kebijakan ini. Investasi pada teknologi pengolahan residu yang lebih efisien dan transparansi operasional akan menjadi faktor penting untuk menjaga keberlanjutan usaha. ***
- Foto: Ilustrasi/ Pok Rie/ Pexels.