FINLANDIA membuat sejarah. Negara Nordik ini resmi menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara terakhirnya di Salmisaari, Helsinki, pada 1 April 2025. Langkah ini menandai tonggak penting dalam transisi energi bersih di Eropa, sekaligus menyampaikan pesan kuat bahwa akhir dari batu bara bukan lagi mimpi—tetapi keputusan politik dan teknologis yang dapat diwujudkan.
Tutupnya PLTU Salmisaari bukan sekadar pemadaman cerobong asap terakhir. Ini merupakan hasil dari kebijakan jangka panjang yang terstruktur. Sejak 2019, pemerintah Finlandia telah melarang penggunaan batu bara untuk pembangkitan listrik mulai 2029. Namun, kenyataan di lapangan melampaui ambisi regulasi: PLTU terakhir ditutup empat tahun lebih awal dari target.
Dari Asap ke Angin dan Surya
Finlandia telah menyiapkan panggungnya dengan serius. Investasi besar-besaran dilakukan pada energi terbarukan. Dalam beberapa tahun terakhir, kapasitas tenaga angin dan surya tumbuh pesat. Hasilnya, ketergantungan pada batu bara runtuh secara alami, bukan sekadar karena aturan.
Grup energi Helen, pengelola PLTU Salmisaari, mengonfirmasi bahwa transisi ini tidak hanya menurunkan emisi, tapi juga menstabilkan biaya listrik. “Ini adalah pembangkit terakhir yang digunakan untuk produksi harian. Kami telah berkomitmen mengakhiri pembakaran sepenuhnya,” kata CEO Helen, Olli Sirkka.
Baca juga: Menutup PLTU, Menyelamatkan Ribuan Nyawa dan Triliunan Rupiah
Pengganti daya yang hilang dari PLTU Salmisaari pun bukan solusi tunggal. Helen kini mengandalkan beragam sumber: waste heat, pompa panas, serta pelet dan serpihan kayu. Strategi bauran ini menunjukkan bahwa diversifikasi adalah kunci transisi energi yang tangguh.
Ambisi Lebih Jauh, Nol Pembakaran
Helen menargetkan pengurangan emisi hingga hanya 5 persen dari tingkat tahun 1990 pada 2030. Pada 2040, semua bentuk pembakaran akan dihentikan. Artinya, tak ada lagi energi yang dihasilkan dari proses yang melibatkan api.

·
Namun, tantangan tetap ada. Pada musim dingin, permintaan pemanas di Helsinki bisa menyedot 20 persen dari total produksi listrik nasional. Ini memerlukan solusi cerdas dan sistem yang fleksibel untuk menjaga pasokan tetap stabil.
Transisi Tak Murah, tapi Bernilai
Sirkka menyadari bahwa perubahan ini datang dengan biaya. Tapi, menurutnya, ini adalah harga dari pilihan yang benar. “Transisi bersih tidak murah. Tapi ini adalah keputusan bernilai yang telah kami ambil sebagai masyarakat,” tegasnya.
Baca juga; Polusi Udara Indonesia, Mengapa Masih yang Terburuk di Asia Tenggara?
Fakta menarik lainnya: Finlandia kini menjadi negara dengan harga listrik termurah ketiga di Eropa, setelah Swedia dan Norwegia. Bukti bahwa energi bersih bisa berjalan beriringan dengan efisiensi ekonomi.
Contoh bagi Dunia Berkembang
Penutupan PLTU batu bara Finlandia mendapat sorotan dari kelompok lingkungan Beyond Fossil Fuels. Mereka menyebut Finlandia sebagai negara pertama di Eropa yang benar-benar keluar dari batu bara untuk produksi harian.
Namun, masih ada tantangan tersisa. Dua pembangkit kecil masih aktif, dan satu lainnya disiagakan untuk kondisi darurat. Meski begitu, arah kebijakan sudah jelas: batu bara bukan bagian dari masa depan.
Pelajaran untuk Indonesia
Apa relevansinya bagi Indonesia?
Sebagai negara berkembang yang masih mengandalkan batu bara untuk lebih dari 60 persen pembangkitan listrik, langkah Finlandia menyodorkan cermin: transformasi itu mungkin, dengan komitmen dan strategi teknologi.
Baca juga: PLTU dan Energi Hijau, Komitmen Indonesia di Tengah Dilema Paris Agreement
Indonesia bisa mulai dengan pensiun dini PLTU, optimalisasi energi surya dan angin, serta membangun keandalan sistem melalui efisiensi dan digitalisasi. Jalan panjang, tapi bukan tanpa preseden. Finlandia telah membuktikannya. ***
- Foto: balkangreenenergynews.com – PLTU Salmisaari Finlandia.