Indonesia Terbelah Cuaca: Api di Jambi, Banjir di Nusantara

AWAL Agustus 2025 menjadi babak baru yang penuh paradoks bagi iklim Indonesia. Saat sebagian wilayah dilanda hujan lebat dan banjir, Jambi justru memasuki fase siaga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Fenomena ini menegaskan satu hal, cuaca tak bisa lagi diprediksi dengan pendekatan lama.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis peringatan dini terhadap meningkatnya potensi karhutla di Jambi. Bukan tanpa alasan. Curah hujan yang anjlok drastis di awal bulan, diperkirakan hanya 20–50 mm dalam sepuluh hari pertama Agustus, jadi sinyal bahaya bagi daerah yang sedang berada di puncak musim kemarau.

“Kami melihat tren anomali yang signifikan. Wilayah utara Jambi, khususnya yang berbatasan dengan Riau, sudah masuk kategori merah dan kuning dalam peta potensi kemudahan terbakar,” jelas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakornas Penanggulangan Karhutla di Jambi.

Ketimpangan Iklim yang Makin Nyata

Fenomena ini terjadi bersamaan dengan hujan ekstrem di sejumlah wilayah lain. Di Bogor, hujan tercatat 186 mm dalam sehari. Di Riau, angka curah hujan mencapai 133 mm. Wilayah lain seperti Bengkulu dan Kalimantan Barat turut menerima guyuran hujan sedang. Ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari dinamika atmosfer kompleks yang sedang berlangsung.

Baca juga: Alam Terganggu, Musim Baru Muncul Satu per Satu

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Foto: BMKG.

Salah satu pemicu utama adalah aktifnya Gelombang Rossby Ekuator dan keberadaan sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatra. Kedua faktor ini memicu pertumbuhan awan hujan dan akumulasi uap air di atmosfer. Akibatnya, wilayah selatan Indonesia menerima curah hujan tinggi, sementara sebagian daerah lain, seperti Jambi, justru mengering.

Potensi Ekstrem Sepekan ke Depan

BMKG mencatat, dalam sepekan ke depan, potensi hujan akan terus meningkat di wilayah tengah dan timur Indonesia. Ini dipicu oleh kombinasi berbagai fenomena atmosfer, termasuk Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Low Frequency, serta Dipole Mode dan ENSO yang berada pada kondisi netral namun tetap memberikan pengaruh lokal.

Baca juga: Karhutla Bukan Bencana Alam, tapi Ulah Manusia

Sementara itu, wilayah-wilayah seperti Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, dan Sulawesi Barat diprediksi mengalami hujan sedang hingga lebat. Di sisi lain, angin kencang dan gelombang tinggi mengancam perairan seperti Laut Cina Selatan, Laut Halmahera, hingga Samudra Hindia bagian selatan.

Perlu Strategi Iklim yang Adaptif

Situasi ini menuntut kewaspadaan ganda. Pemerintah daerah, aparat penanggulangan bencana, hingga sektor kehutanan perlu bersiap. Tidak hanya menghadapi potensi karhutla di wilayah kering, tapi juga dampak hidrometeorologi basah seperti banjir dan longsor di tempat lain.

Baca juga: Cuaca Kacau, Pangan Terancam: Indonesia Butuh Adaptasi Iklim

Cuaca kini hadir sebagai teka-teki kompleks. Skema adaptasi dan mitigasi tak bisa bersandar pada pola lama. Pemanfaatan data iklim, koordinasi lintas sektor, serta edukasi masyarakat menjadi langkah penting dalam menghadapi dinamika baru ini. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Vladyslav Dukhin/ PexelsAsap tebal dan kobaran api melahap semak belukar dan pepohonan di lahan kering—potret nyata ancaman karhutla yang kembali menghantui wilayah Jambi.
Bagikan