Iradiasi Pangan, Strategi Baru BRIN–Bapanas Lawan Food Loss

MASALAH food loss menjadi salah satu tantangan serius ketahanan pangan Indonesia. Data Bapanas menunjukkan kerugian kerap terjadi sejak tahap panen, penyimpanan, hingga distribusi. Cabai yang cepat layu, telur yang rusak, atau bawang yang bertunas adalah contoh nyata. Hilangnya pangan di rantai pasok bukan hanya merugikan petani dan pelaku usaha, tetapi juga memperlemah daya saing nasional.

Untuk mengatasi hal itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperkenalkan teknologi iradiasi pangan. Tiga komoditas yang dipilih untuk uji coba adalah cabai, telur, dan bawang merah. Ketiganya merupakan bahan pangan pokok yang rentan rusak dan menyumbang besar pada angka food loss.

Teknologi yang Terbukti Aman

Iradiasi pangan dilakukan dengan penyinaran menggunakan sinar gamma, sinar-X, atau berkas elektron. Tujuannya mencegah pembusukan, membunuh jasad renik patogen, dan memperlambat pertunasan. Menurut BPOM, metode ini aman dan sudah digunakan di lebih dari 50 negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, selama puluhan tahun.

Peneliti BRIN, Ashri Mukti Benita, menjelaskan bahwa teknologi ini sudah diakui FAO, WHO, dan IAEA. Produk pangan bisa langsung diiradiasi tanpa membuka kemasan, sehingga higienitas tetap terjaga. “Iradiasi bukanlah eksperimen coba-coba, tetapi teknologi yang sudah proven,” ujarnya.

Baca juga: Cuaca Kacau, Pangan Terancam: Indonesia Butuh Adaptasi Iklim

Hasil riset menunjukkan, dosis rendah iradiasi mampu memperpanjang umur simpan tanpa mengubah kualitas utama produk. Misalnya, telur yang disinari tetap mempertahankan warna kuningnya, sementara bawang merah tidak bertunas meski disimpan lebih lama. Pada cabai, iradiasi dosis rendah terbukti memperlambat pelayuan.

Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Penerapan teknologi ini tidak sekadar soal efisiensi rantai pasok. Pemerintah tengah mendorong program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah. Tantangan utama MBG adalah memastikan makanan tetap aman, segar, dan berkualitas dari pusat distribusi hingga meja makan.

Beragam komoditas segar seperti cabai, bawang, dan sayuran dijajakan di pasar tradisional. Produk hortikultura ini mudah rusak sehingga teknologi pengawetan modern, termasuk penyinaran pangan, dinilai penting untuk mengurangi food loss. Foto: Ilustrasi/ Taze/ Pexels.

Di sinilah iradiasi berperan. Dengan memperpanjang umur simpan cabai, telur, dan bawang, risiko kerusakan pangan dapat ditekan. Selain itu, potensi penyakit bawaan makanan bisa diminimalkan. “Iradiasi memberi jaminan tambahan bahwa makanan yang dibagikan tetap aman dan bergizi,” kata Ashri.

Baca juga: Krisis Iklim Diam-diam Menggerus Nutrisi Pangan Kita

Implikasi Ekonomi dan Pasar Global

Lebih jauh, teknologi iradiasi juga membuka peluang ekspor. Komoditas hortikultura, rempah, hingga bahan pangan pokok bisa memenuhi standar karantina internasional melalui proses ini. Di pasar global, iradiasi sudah menjadi bagian dari syarat fitosanitari untuk mencegah hama dan penyakit lintas batas.

Dengan adopsi teknologi ini, Indonesia tidak hanya memperkuat ketahanan pangan domestik, tetapi juga meningkatkan daya saing produk. Hal ini penting di tengah tekanan perubahan iklim, lonjakan harga pangan, dan meningkatnya kebutuhan gizi masyarakat.

Baca juga: Ancaman Monokultur, Keanekaragaman Pangan Dunia di Ujung Tanduk

Kolaborasi BRIN dan Bapanas menjadi langkah awal untuk membangun ekosistem pangan yang lebih tangguh. Standar pra-iradiasi dan pasca-iradiasi juga tengah disiapkan agar BUMN pangan dan pelaku usaha bisa segera mengadopsinya.

Bagi pengambil kebijakan, ini adalah momentum untuk mendorong inovasi pangan sekaligus menjawab tantangan besar: mengurangi food loss, mendukung MBG, dan memperluas akses pasar global. Teknologi iradiasi menunjukkan bahwa sains dapat menjadi solusi konkret bagi keamanan pangan dan keberlanjutan. ***

  • Foto: Muhammad Ilyasa/ Pexels Pedagang tradisional menjajakan cabai, bawang, dan tomat di pasar. Komoditas segar ini rentan rusak dan kerap menyumbang angka food loss, sehingga butuh inovasi pengawetan modern.
Bagikan