BENCANA besar yang menimpa Sumatra akhir tahun ini membuka sesuatu yang lebih dalam dari sekadar curah hujan ekstrem. Di balik banjir yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ada pola tutupan lahan yang berubah cepat, degradasi hulu yang tak terkendali, dan DAS yang kini kehilangan kemampuan dasarnya untuk menyerap air.
Data terbaru dari Kementerian Kehutanan memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Dalam lima tahun terakhir (2019–2024), DAS Batang Toru, salah satu kawasan tangkapan air terpenting di Sumatera Utara, kehilangan tutupan lahan hutan seluas 28.900 hektare.
Yang mengejutkan, 99% perubahan itu terjadi di luar kawasan hutan, memperlihatkan lemahnya tata kelola ruang di area yang justru tak terlindungi oleh status konservasi formal.
Batang Toru, Hulu yang Kehilangan Daya Tahan
Menurut Kasubdit Perencanaan Pengelolaan DAS Kemenhut, Catur Basuki Setyawan, Batang Toru kini memikul beban degradasi yang sangat besar. Sekitar 35.000 hektare lahan di kawasan ini telah masuk kategori kritis, setara 10,2% dari keseluruhan luas DAS.
Baca juga: Kayu Terapung, Tata Kelola yang Tenggelam di Bencana Sumatra
Lahan kritis adalah indikator paling jelas bahwa fungsi hidrologis sudah menurun. Ketika lahan tidak lagi mampu menahan air, setiap hujan deras berubah menjadi limpasan permukaan. Kombinasinya dengan beda tinggi yang besar membuat energi air meningkat dan banjir sulit dikendalikan.
Fenomena yang sama terlihat di tingkat provinsi. Sumatera Utara secara keseluruhan kehilangan 9.400 hektare hutan selama periode yang sama, 36% di antaranya berada di kawasan hutan negara. Sementara itu, luas lahan kritis mencapai 207.500 hektare, setara dengan satu DAS raksasa yang tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya.

Aceh dan Sumbar, Geografi yang Mempercepat Risiko
Di Aceh, angka perubahan tutupan hutan tampak kecil, hanya 21 hektare. Namun lebih dari separuhnya terjadi di kawasan hutan, memperlihatkan tekanan yang meningkat pada area yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis. Lahan kritis di provinsi ini kini mencapai 217.000 hektare, terbesar di seluruh Sumatra bagian utara.
Sumatera Barat menghadapi situasi berbeda namun sama gentingnya. Perubahan tutupan lahan hutan ke non-hutan mencapai 1.800 hektare, dengan 79% berada di kawasan hutan negara. Posisi paling rentan terlihat di DAS Masang Kiri, pusat banjir baru-baru ini, yang memiliki lahan kritis seluas 11.898 hektare.
Baca juga: Banjir Sumatra Mengungkap Sesuatu, Indonesia Kehilangan Sistem Alarm Lingkungan
Catur menyebut 13 DAS di Sumbar memiliki rasio sirkulasi mendekati satu, sebuah karakter bentuk DAS yang membuat aliran air sangat cepat menuju hilir. “Artinya dia memang punya potensi tinggi terhadap banjir,” ujarnya. Ketika bentuk DAS yang rentan bertemu degradasi tutupan lahan, risiko meningkat secara eksponensial.
Peringatan untuk Kebijakan
Temuan dari tiga provinsi ini menyiratkan pesan yang jelas. Perubahan tutupan lahan di luar kawasan hutan, meski secara hukum “abu-abu”, memberikan dampak paling besar terhadap risiko banjir. Inilah ruang kebijakan yang selama ini tercecer, ekonomi berjalan cepat, namun instrumen pengawasan tidak ikut tumbuh.
Baca juga: Banjir Sumatra Menguji Hukum Lingkungan: Satgas Turun, Publik Menanti Pembuktian
Pengelolaan DAS membutuhkan pendekatan lintas sektor. Mulai dari penertiban perizinan di luar kawasan hutan, restorasi lahan kritis, hingga penyelarasan tata ruang dan tata air. Tanpa itu, Sumatra akan memasuki siklus bencana yang berulang, dan semakin mahal. ***
- Foto: Kiriman Warga – Alat berat membersihkan jalan berlumpur di salah satu kawasan terdampak banjir di Sumatra. Tumpukan gelondongan kayu yang terbawa arus memperlihatkan indikasi kuat tekanan alih fungsi lahan di hulu, jejak visual yang kian sering muncul dalam bencana hidrometeorologi di wilayah ini.


