LANGIT pagi tampak cerah, matahari bersinar terang. Namun tak lama, awan menggulung dan hujan mengguyur deras. Fenomena cuaca seperti ini tengah menjadi pemandangan umum di banyak wilayah Indonesia. Meskipun kalender mencatat musim kemarau sudah tiba, kenyataan di lapangan berkata lain: hujan masih rajin turun.
Fenomena ini bukan anomali semata. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Indonesia kini tengah menghadapi masa transisi atau pancaroba. Cuaca berubah cepat. Pagi hangat dan kering, namun sore hari langit bisa murka. BMKG bahkan menyebutkan bahwa sebagian wilayah kini mengalami apa yang disebut “kemarau basah.”
Kemarau Basah, Curah Hujan di Atas Normal
Secara klimatologis, musim kemarau di Indonesia berarti curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan. Namun dalam kondisi kemarau basah, angka itu bisa melonjak menjadi lebih dari 100 milimeter per bulan. Ini artinya, meskipun secara musim sudah kemarau, hujan tetap hadir dalam jumlah yang signifikan.
Baca juga: Sinyal Krisis Iklim, Indonesia Hadapi Cuaca Ekstrem hingga 2100
Menurut BMKG, kondisi atmosfer saat ini sangat labil. Penyebabnya bukan cuma pemanasan permukaan dan kelembapan tinggi, tapi juga dinamika atmosfer skala besar seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby Ekuatorial. Ketiganya ikut menyuburkan pembentukan awan-awan hujan, terutama awan konvektif seperti Cumulonimbus—si penghasil hujan lebat, angin kencang, hingga petir.
Dampak di Berbagai Wilayah
Dalam sepekan terakhir saja, hujan lebat yang dipicu cuaca ekstrem memicu bencana hidrometeorologi di berbagai daerah. Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Lampung, Banten, DKI Jakarta, hingga Jawa Tengah mencatat insiden banjir dan tanah longsor. Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun kita menyebutnya musim kemarau, risiko bencana akibat hujan ekstrem belum benar-benar berakhir.

BMKG memprediksi, sekitar 26 persen wilayah Indonesia akan mengalami kemarau dengan curah hujan “di atas normal.” Daerah-daerah seperti Lampung, Jawa bagian barat-tengah, Bali, NTB, NTT, serta sebagian Sulawesi dan Papua berada dalam kategori ini.
Pancaroba Tak Bisa Diabaikan
Di wilayah padat penduduk seperti Jabodetabek, masa pancaroba menciptakan tantangan tersendiri. Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menjelaskan bahwa hujan lokal bersifat tiba-tiba dan intens sering terjadi siang hingga malam hari. Udara yang terik di pagi hari memicu labilitas atmosfer dan menghasilkan hujan yang disertai angin kencang dan petir.
Baca juga: Perubahan Iklim Makin Parah, Siklus Banjir di Indonesia Kian Cepat
Awal musim kemarau sendiri, menurut BMKG, berlangsung variatif. Di Jabodetabek, misalnya, dimulai antara akhir April hingga Juni 2025.
Implikasi untuk Keberlanjutan
Bagi para pemerhati dan pelaku pembangunan berkelanjutan, fenomena ini menandakan perlunya penyesuaian dalam perencanaan. Pola tanam petani, sistem drainase perkotaan, hingga peringatan dini bencana harus beradaptasi dengan ketidakpastian cuaca yang semakin nyata.
Baca juga: Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim, Ancaman Nyata bagi Indonesia
Kemarau kini tak lagi identik dengan langit cerah dan udara kering. Di era perubahan iklim, istilah “kemarau basah” barangkali akan menjadi bagian dari kosakata cuaca yang akrab di telinga kita. ***
- Foto: Ilustrasi/ Erfin Ekarana/ Pexels.