Kematian Ikan di Danau Maninjau, Dampak Cuaca Ekstrem pada Perikanan

KEMATIAN massal ikan keramba jaring apung yang melanda Danau Maninjau, Padang, Sumatra Barat, pada pertengahan Januari 2025, mengingatkan kita akan betapa rentannya ekosistem perikanan terhadap perubahan cuaca ekstrem.

Fenomena yang menyebabkan matinya 75 ton ikan ini menjadi tantangan serius bagi para petani keramba dan pengelola sumber daya perikanan di daerah tersebut. Terutama, di tengah upaya untuk menjaga keberlanjutan sektor perikanan yang ramah lingkungan.

Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menyatakan peristiwa ini dipicu oleh angin kencang yang melanda pada Minggu, 12 Januari 2025. Dampaknya terasa pada pembalikan air dari dasar ke permukaan danau yang mengurangi kadar oksigen di dasar danau vulkanik tersebut.

Baca juga: 2035: Ancaman Iklim, Polusi, dan Risiko Teknologi Mengintai Dunia

Tanpa oksigen yang cukup, ikan-ikan keramba jaring apung yang ada di kedalaman tersebut akhirnya mati. “Hingga Minggu, 19 Januari 2025, kami mencatat ada sekitar 75 ton ikan mati, tersebar di beberapa nagari di sekitar Danau Maninjau,” ungkap Kepala DKPP Agam, Rosva Deswira.

Penyebaran Kejadian dan Dampaknya

Kematian ikan ini tidak terjadi hanya pada satu titik, melainkan tersebar di beberapa lokasi. Data yang diperoleh mencatat bahwa sekitar 50 ton ikan mati di Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, dengan jenis ikan nila yang berasal dari puluhan petak keramba jaring apung milik para petani lokal. Sementara itu, sekitar 25 ton ikan lainnya mati di Nagari Bayua, juga di Kecamatan Tanjung Raya, akibat dampak serupa. Kejadian ini terjadi hanya beberapa hari setelah angin kencang yang mengganggu keseimbangan ekosistem danau.

Sebelum kejadian pada pertengahan Januari 2025, peristiwa kematian ikan di Danau Maninjau, Padang, Sumatera Barat, juga tercatat pada tahun 2023, seperti yang terlihat pada gambar ini. Foto: Antara.

Fenomena pembalikan air atau thermal stratification ini adalah salah satu kejadian alam yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dan ekosistem perairan. Ketika angin kencang mengganggu permukaan air danau, lapisan-lapisan air yang berbeda suhu saling bergeser, menyebabkan air dingin yang rendah oksigen naik ke permukaan dan menciptakan kondisi yang mematikan bagi ikan yang berada di kedalaman.

Baca juga: Lapisan Es Antartika Mencair, Peringatan bagi Keberlanjutan Bumi

Meningkatkan Waspada Terhadap Cuaca Ekstrem

Menanggapi situasi ini, DKPP Agam mengingatkan kepada para petani keramba untuk lebih waspada terhadap cuaca ekstrem yang dapat datang kapan saja. Terutama, mereka diimbau untuk segera melapor jika terdeteksi perubahan cuaca yang berpotensi merusak ekosistem danau dan mempengaruhi perikanan.

Pemerintah setempat pun telah mengeluarkan surat edaran pada 21 November 2024 terkait prediksi cuaca ekstrem dan langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi dampak kerusakan.

Baca juga: Suhu Laut 2024 Pecah Rekor, Apa Dampaknya untuk Kita?

Dalam upaya menjaga keberlanjutan ekosistem Danau Maninjau, Rosva menekankan pentingnya pengelolaan sampah dan bangkai ikan. “Bangkai ikan yang membusuk di dalam danau hanya akan menambah polusi dan memperburuk kualitas air. Petani harus mengumpulkan dan mengubur bangkai ikan tersebut, bukan membuangnya ke dalam danau,” tegasnya.

Peran Petani dalam Keberlanjutan Ekosistem

Petani keramba jaring apung memainkan peran krusial dalam menjaga keberlanjutan sektor perikanan di Danau Maninjau. Bukan hanya dalam hal produksi ikan, namun juga dalam menjaga kelestarian danau sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu, peran aktif petani dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan langkah-langkah mitigasi bencana alam menjadi penting.

Baca juga: PBB: Krisis Iklim Semakin Parah, Dunia Harus Bertindak Sekarang

Di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, upaya memperkuat ketahanan pangan berbasis perikanan yang berkelanjutan harus terus digalakkan. Pembelajaran dari kejadian ini dapat menjadi bahan refleksi untuk meningkatkan kesiapan menghadapi cuaca ekstrem di masa depan, guna menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan dan kelestarian alam. ***

  • Foto: Pemkab Agam, Sumbar.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *