Kemitraan Hijau RI–China, Menata Ulang Rantai Sawit Global

Kolaborasi Indonesia dan China untuk sawit yang lebih ramah lingkungan bukan sekadar dagang, tapi soal arah baru perdagangan global.

SAAT dunia terus menekan agar rantai pasok komoditas bebas dari deforestasi dan lebih adil bagi petani kecil, dua kekuatan ekonomi Asia, Indonesia dan China, memilih jalur kolaborasi. Fokusnya, membentuk masa depan industri kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.

Dalam laporan terbaru World Economic Forum (WEF) bertajuk “Toward a Sustainable Palm Oil Trade in the Global South”, yang dirilis Juni 2025, disebutkan bahwa kerja sama RI–China bisa menjadi katalis pembaruan di sektor sawit global. Pada 2023 saja, nilai ekspor sawit Indonesia ke China mencapai 3,88 miliar dolar AS, menjadikannya komoditas kunci dalam hubungan dagang bilateral senilai 139,41 miliar dolar AS.

“Indonesia dan China punya posisi strategis untuk menjadi pemimpin di kawasan Global Selatan dalam membentuk perdagangan komoditas yang lebih hijau dan inklusif,” ujar Analis Pasar independen, Diah Suradiredja, yang sekaligus penulis utama laporan tersebut.

Realitas di Hulu, Petani Kecil dan Pabrik Mini

Namun realita di lapangan jauh dari kata ideal. Di Indonesia, sekitar 41 persen perkebunan sawit dikelola oleh petani kecil. Sayangnya, hanya 3 persen yang terdata resmi. Ini mempersulit upaya penelusuran dan pengawasan terhadap praktik budidaya sawit.

Baca juga: Masa Depan Hijau Sawit: Mengolah Limbah, Mengurangi Emisi

Lebih jauh lagi, keberadaan mini-mills yang beroperasi tanpa regulasi resmi memperkeruh situasi. Ketelusuran rantai pasok menjadi lemah, dan upaya memperkenalkan sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO atau RSPO tak memiliki taring.

“Tanpa insentif harga dan kesadaran konsumen, produk sawit berkelanjutan sulit bersaing,” ungkap Direktur Regional Asia Tenggara dari Tropical Forest Alliance, Rizal Algamar.

Perkebunan sawit rakyat di wilayah Indonesia. Sebagian besar lahan dikelola petani kecil, namun masih minim pencatatan resmi dan dukungan keberlanjutan. Foto: Ilustrasi/ Wahidin-Jaguar/ Pexels.

Tiga Langkah Nyata yang Perlu Didorong

Laporan WEF tidak hanya mengulas tantangan, tetapi juga menyodorkan peta jalan. Ada tiga langkah utama yang disarankan:

  1. Pengakuan timbal balik terhadap standar nasional
    Mendorong agar ISPO (Indonesia) dan MSPO (Malaysia) bisa diakui lintas negara sebagai standar minimal praktik berkelanjutan.
  2. Inovasi keuangan untuk petani kecil
    Melalui obligasi hijau, pembiayaan campuran, dan skema pinjaman lunak yang mendorong praktik ramah lingkungan di tingkat hulu.
  3. Proyek percontohan lintas yurisdiksi
    Misalnya, menyambungkan daerah produksi sawit seperti Riau dan Kalimantan Barat dengan pelabuhan utama China seperti Shanghai dan Tianjin, yang bisa menjadi uji coba ketelusuran dari hulu ke hilir.

Baca juga: Sawit Rakyat, Peluang Baru dari Penundaan Kebijakan Uni Eropa

Transparansi dengan Sentuhan Teknologi

Di tengah ketatnya regulasi global seperti EU Deforestation Regulation (EUDR), kolaborasi dalam pemanfaatan teknologi digital dan satelit untuk pemantauan sawit juga disebut sebagai “game changer”. Dengan teknologi, ketelusuran tak lagi jadi kendala utama.

Baca juga: Industri Sawit Optimistis Hadapi Tantangan Global

“Kalau bisa dijalankan dengan benar, kemitraan RI–China dapat menjadi model baru perdagangan komoditas: adil, hijau, dan adaptif terhadap krisis iklim,” tulis WEF dalam ringkasan eksekutifnya.

Kini, bola ada di tangan dua negara. Mampukah mereka menjadikan sawit bukan sekadar komoditas ekspor, tapi simbol pergeseran arah menuju ekonomi hijau yang sesungguhnya? ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *