Komitmen Iklim dalam Ancaman, Industri Migas Pilih Jalan Lama

KETIKA dunia semakin bulat menetapkan arah menuju energi bersih, sebagian perusahaan minyak dan gas justru menginjak pedal gas dalam memproduksi bahan bakar fosil. Laporan terbaru dari Carbon Tracker, sebuah lembaga pemantau investasi iklim berbasis riset, mengungkap tren mengkhawatirkan: produsen migas terbesar dunia masih belum beranjak dari model bisnis lama.

Laporan bertajuk Oil and Gas Climate Scorecard ini mengevaluasi 30 perusahaan minyak dan gas hulu terbesar di dunia. Penilaian dilakukan berdasarkan enam indikator: strategi investasi, potensi dampak regulasi, rencana produksi, target pengurangan karbon dan metana, serta sistem kompensasi eksekutif.

Hasilnya? Tak satu pun perusahaan mendapat nilai di atas peringkat D. Bahkan tidak ada yang tampil konsisten baik di lebih dari satu metrik. Ini menandakan bahwa sebagian besar perusahaan besar di sektor ini gagal menyelaraskan diri dengan target iklim global seperti yang tertuang dalam Perjanjian Paris.

Politik dan Profit, Kombinasi yang Menghambat Aksi Iklim

Carbon Tracker secara terang menyebut dua faktor pemicu utama kemunduran ini: terpilihnya kembali Donald Trump dan krisis energi pascaperang Rusia-Ukraina.

Baca juga: Transisi Energi: Komitmen Menggebu, Aksi Masih Abu-abu

Kedua peristiwa ini menciptakan ruang manuver lebih luas bagi korporasi migas untuk kembali menempatkan bahan bakar fosil sebagai fokus utama. Ketika harga energi melonjak dan ketahanan energi menjadi isu nasional, banyak negara, termasuk negara-negara besar, menunda langkah-langkah transisi energi yang sebelumnya digadang-gadang.

“Sebagian besar perusahaan minyak dan gas besar tidak memperhitungkan penurunan permintaan bahan bakar fosil di masa depan,” ujar Analis Carbon Tracker, Rich Collett-White. “Langkah mereka justru menjauh dari jalur Paris Agreement,” tambahnya mengutip edie.net.

Risiko Iklim Jadi Risiko Finansial

Kegagalan perusahaan-perusahaan ini dalam beradaptasi menimbulkan kekhawatiran bagi investor. Terlebih bagi mereka yang memiliki portofolio hijau atau mandat environmental, social, governance (ESG).

Kilang migas di tengah senja — simbol ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil di tengah tuntutan transisi energi bersih. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.

Carbon Tracker menyarankan agar investor melakukan evaluasi ulang terhadap keterlibatan mereka dalam perusahaan-perusahaan yang tidak proaktif terhadap iklim. Risiko finansial jangka panjang akan mengintai, terutama jika tren global berbalik arah secara tiba-tiba, misalnya karena regulasi iklim yang lebih ketat di masa depan.

Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?

Bank dan perusahaan asuransi juga diperingatkan untuk menjauhi entitas dengan strategi bisnis tak sejalan dengan transisi energi global. Bila tidak, mereka bisa terjebak dalam portofolio yang berisiko stranded asset—aset yang nilainya anjlok karena perubahan kebijakan atau pasar.

LNG, Solusi Sementara atau Jerat Baru?

Laporan juga menyoroti booming-nya proyek LNG (gas alam cair) di tengah narasi transisi energi. Banyak perusahaan melihat LNG sebagai “bahan bakar jembatan” menuju masa depan yang lebih hijau.

Namun, Carbon Tracker mengingatkan bahwa proyek-proyek LNG berskala besar dapat menjadi penghambat transisi, karena biaya investasinya tinggi dan umur operasionalnya panjang—seringkali di atas 20 tahun.

“Jika kita terlanjur berinvestasi besar dalam infrastruktur LNG, akan sulit untuk beralih ke energi terbarukan dalam waktu dekat,” tulis laporan tersebut.

Baca juga: PLTU dan Energi Hijau, Komitmen Indonesia di Tengah Dilema Paris Agreement

Metana Masih Jadi PR Besar

Meski ada kemajuan dalam penanganan emisi karbon, kebocoran metana dari operasi migas masih menjadi isu krusial. Metana merupakan gas rumah kaca yang 80 kali lebih kuat dibanding karbon dioksida dalam 20 tahun pertama.

Beberapa perusahaan besar seperti CNOOC dan Coterra justru mengalami penurunan peringkat karena buruknya kinerja dalam hal pengendalian emisi metana. Ini menegaskan bahwa keberhasilan mengurangi karbon saja tidak cukup bila gas rumah kaca lainnya tak ditangani dengan serius. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *