Krisis Dana Adaptasi, Dunia Masih Gagal Membayar Utang Iklimnya

KETIKA dampak perubahan iklim semakin nyata, dari banjir besar di Asia Selatan hingga kekeringan panjang di Afrika Timur, pendanaan adaptasi justru menurun. Laporan terbaru UN Environment Programme (UNEP) memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Negara-negara kaya hanya menyalurkan 26 miliar dolar AS dana publik untuk adaptasi iklim pada 2023, turun 2 miliar dolar AS dibandingkan tahun sebelumnya.

Padahal, dana inilah yang menjadi benteng pertama bagi negara berkembang untuk bertahan dari krisis iklim. Membangun tembok laut, memperkuat irigasi tahan kekeringan, dan memperkuat sistem peringatan dini. Tanpa itu, kerugian sosial-ekonomi akan terus membesar.

“Adaptasi bukan sekadar biaya, melainkan jalur kehidupan,” tegas Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Ia menekankan bahwa menutup kesenjangan adaptasi berarti melindungi nyawa, memberi keadilan iklim, dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan.

Dana yang Menyusut, Risiko yang Membengkak

Menurut laporan Adaptation Gap Report 2025 yang dikutip dari Edie (29 Oktober 2025), total pendanaan publik untuk adaptasi global saat ini baru mencapai seperlima dari kebutuhan sebenarnya. Negara berkembang diperkirakan membutuhkan 310 hingga 365 miliar dolar AS per tahun pada 2035, atau sekitar 12 kali lipat lebih besar dari dana yang ada sekarang.

Baca juga: GCF Gelontorkan $686,8 Juta untuk Pendanaan Iklim 42 Negara

Selain dana publik, investasi swasta untuk adaptasi juga masih stagnan di kisaran 5 miliar dolar AS per tahun. Padahal UNEP memperkirakan, jika dimobilisasi dengan mekanisme pendanaan campuran (blended finance), investasi swasta bisa meningkat hingga sepuluh kali lipat pada 2035.

“Kita membutuhkan dorongan global yang kuat untuk meningkatkan pendanaan adaptasi. Baik dari publik maupun swasta, tanpa menambah beban utang negara-negara yang rentan,” kata Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Janji yang Terus Tertunda

Sejak COP26 di Glasgow (2021), negara maju berkomitmen menggandakan pendanaan adaptasi menjadi 40 miliar dolar AS per tahun pada 2025. Namun, hingga kini realisasinya belum tampak signifikan. Di COP29 di Baku tahun lalu, negara-negara sepakat menaikkan ambisi menjadi 300 miliar dolar AS per tahun pada 2035, dengan target jangka panjang 1,3 triliun dolar AS untuk keseluruhan pembiayaan iklim (adaptasi dan mitigasi).

Baca juga: COP30, Harapan Negara Berkembang untuk Pendanaan Iklim Lebih Adil

Tim COP30 tahun ini ditugaskan merancang peta jalan (roadmap) untuk memastikan janji itu tidak kembali menjadi dokumen tanpa gigi. UNEP mendesak agar peta jalan tersebut memisahkan skema adaptasi dan mitigasi, sehingga pendanaan bagi ketahanan iklim masyarakat tidak tenggelam dalam proyek-proyek pengurangan emisi semata.

Tantangan Baru bagi Negara Berkembang

Bagi negara seperti Indonesia, kabar ini membawa implikasi strategis. Dalam konteks pembiayaan hijau dan loss and damage, menurunnya komitmen global bisa memperlambat proyek adaptasi lokal. Dari restorasi pesisir hingga ketahanan pangan berbasis komunitas.

Baca juga: Ketimpangan Iklim, Indonesia Menanggung Panas yang Tak Diciptakannya

Tanpa dukungan keuangan dan teknologi yang memadai, target adaptasi nasional (National Adaptation Plan) berisiko hanya menjadi retorika di atas kertas.

Kesenjangan antara janji dan realisasi pendanaan adaptasi kini menjadi simbol paling jelas dari ketimpangan iklim global. Mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi, justru harus menanggung beban paling berat dari dampaknya. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Unsplash – Foto udara menunjukkan kontras ekstrem antara wilayah tergenang banjir dan lahan kering. Gambaran nyata tentang ketimpangan adaptasi iklim antara negara dan komunitas yang berbeda.
Bagikan