KRISIS iklim global kini menunjukkan wajah paling tidak adilnya. Negara-negara kecil dan berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi gelombang panas ekstrem yang makin sering dan mematikan. Padahal kontribusi mereka terhadap emisi karbon dunia sangat kecil.
Sebuah studi internasional terbaru mengungkapkan, hingga akhir abad ini, Indonesia berpotensi mengalami lonjakan hari panas ekstrem lebih tinggi dibanding negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat dan China.
Negara Tropis di Bawah Tekanan Suhu Ekstrem
Indonesia, bersama negara-negara kepulauan seperti Panama, Samoa, dan Kepulauan Solomon, masuk dalam daftar sepuluh negara yang paling terdampak panas ekstrem di dunia.
Temuan ini berasal dari laporan World Weather Attribution dan Climate Central yang dirilis pada Oktober 2025. Penelitian itu memproyeksikan, secara global, setiap negara akan mengalami tambahan rata-rata 57 hari panas ekstrem per tahun pada akhir abad ke-21. Namun, negara tropis seperti Indonesia diperkirakan akan menghadapi lonjakan yang jauh lebih tinggi karena posisinya di lintang rendah dengan kelembapan tinggi.
Baca juga: Sinyal Krisis Iklim, Indonesia Hadapi Cuaca Ekstrem hingga 2100
Fenomena ini bukan sekadar cuaca ekstrem. Ini berdampak langsung pada produktivitas ekonomi, ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan pasokan energi. Di Indonesia, peningkatan suhu permukaan yang disertai urbanisasi cepat membuat kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar semakin rentan terhadap heat stress dan kualitas udara memburuk.
BMKG mencatat suhu maksimum di beberapa wilayah sudah menembus 37°C pada pertengahan 2025, rekor tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Ironi Keadilan Iklim Global
Riset yang sama menegaskan adanya ketimpangan iklim yang tajam. Sepuluh negara paling terdampak panas ekstrem, termasuk Indonesia, hanya menghasilkan sekitar 1 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Sebaliknya, tiga negara penghasil emisi terbesar, Amerika Serikat, China, dan India, yang menyumbang 42 persen karbon global, hanya akan mengalami tambahan sekitar 23–30 hari panas ekstrem per tahun.
Baca juga: Sepertiga Pemanasan Global Berasal dari 14 Raksasa Energi
“Pemanasan global menghantam negara berkembang secara tidak proporsional,” ungkap Ilmuwan Iklim dari Universitas Victoria, Andrew Weaver. Ia menambahkan, “Kesenjangan ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga potensi sumber ketidakstabilan geopolitik.”

Dampaknya terasa nyata, ribuan orang meninggal setiap tahun akibat gelombang panas, terutama di negara tropis dengan sistem kesehatan terbatas. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan peningkatan kasus heatstroke dan dehidrasi di kawasan urban padat selama gelombang panas 2024–2025.
Baca juga: PBB Ingatkan, La Nina Tak Cukup Hentikan Rekor Suhu Global
Dari Data ke Diplomasi, Peran Indonesia di COP30 Brasil
Meski Perjanjian Paris 2015 terbukti menahan laju pemanasan, kenaikan suhu global 2,6°C pada tahun 2100 masih berpotensi membawa dampak serius bagi negara seperti Indonesia. Tanpa kesepakatan global tersebut, proyeksi suhu bisa melonjak hingga 4°C, dengan tambahan 114 hari panas ekstrem setiap tahun.
Para peneliti menilai bahwa aksi iklim saat ini masih terlalu lambat. Pada November 2025, hampir 200 negara akan kembali berkumpul di Brasil untuk melanjutkan negosiasi iklim menuju COP30.
Baca juga: COP30 di Belem, Brasil, Menjadi Momen Kritis Aksi Iklim Global
Bagi Indonesia, forum ini menjadi ruang strategis untuk menegaskan kembali komitmen dekarbonisasi, pendanaan adaptasi, dan transisi energi berkeadilan.
Sebagai negara kepulauan besar yang menanggung dampak perubahan iklim tanpa menjadi penyebab utama, Indonesia kini memegang peran moral sekaligus politis, menjadi suara keadilan iklim dari Selatan Global.
Tanpa langkah konkret, “57 hari panas ekstrem per tahun” bukan lagi peringatan ilmiah, melainkan realitas sosial dan ekonomi yang akan membakar masa depan generasi muda Indonesia. ***
- Foto: Ilustrasi/ SustainReview – Ilustrasi ketimpangan iklim global. Negara industri menghasilkan emisi, sementara negara tropis seperti Indonesia menanggung dampak panas ekstrem dan perubahan cuaca ekstrem.


