FENOMENA iklim La Nina diperkirakan kembali hadir antara September hingga November 2025. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut peluang terjadinya mencapai 55% pada periode tersebut, bahkan meningkat menjadi 60% untuk Oktober–Desember. Namun, peringatan penting menyertai kabar ini: meski La Niña membawa efek pendinginan, suhu global tetap akan berada di atas rata-rata.
La Nina adalah fenomena alami yang mendinginkan suhu permukaan Samudra Pasifik bagian tengah dan timur. Dampaknya terasa pada pola angin, curah hujan, hingga tekanan atmosfer. Fenomena ini biasanya datang silih berganti dengan El Nino, yang justru memanaskan permukaan laut dan sering memicu kekeringan atau hujan ekstrem di berbagai wilayah tropis.
Mengutip laporan The Guardian, WMO menegaskan bahwa La Nina kali ini muncul setelah kondisi netral berlangsung sejak Maret 2025. Sebelumnya, dunia sempat mengalami “triple-dip La Nina” antara 2020–2023, periode yang langka karena berlangsung tiga tahun berturut-turut. Alih-alih mendinginkan bumi, periode itu justru disertai kekeringan panjang, banjir besar, dan kerugian ekonomi yang meluas.
Suhu Global Tak Lagi Terkendali
Data WMO menunjukkan, tren pemanasan global kini terlalu kuat untuk dikompensasi oleh fenomena alamiah. Sepuluh tahun terakhir tercatat sebagai dekade terpanas dalam sejarah. Bahkan setelah El Niño mereda pada 2024, bumi tetap mencatat rekor suhu tertinggi yang pernah ada.
Baca juga: Musim Panas Terpanas di Eropa, Alarm Darurat Iklim Global
Artinya, efek pendinginan La Nina tak cukup signifikan untuk mengubah arah krisis iklim. “Fenomena alamiah ini berlangsung di atas panggung yang sudah dipanaskan aktivitas manusia,” ujar pakar iklim WMO. Emisi gas rumah kaca yang terus meningkat mendorong suhu global naik, memicu cuaca ekstrem, dan mengubah siklus air secara drastis.

Implikasi bagi Kebijakan dan Praktik Berkelanjutan
Bagi negara-negara tropis seperti Indonesia, dampak La Nina sering berarti meningkatnya intensitas hujan. Itu bisa memperbaiki ketersediaan air tanah, tetapi juga meningkatkan risiko banjir bandang, longsor, dan gagal panen. Sebaliknya, El Nino yang lebih jarang diprediksi untuk akhir tahun ini biasanya membawa ancaman kekeringan dan krisis pangan.
Baca juga: Krisis Hutan Tropis Bisa Picu Pemanasan Global Abadi
Bagi para pembuat kebijakan dan pelaku usaha, dinamika ini menuntut strategi adaptasi ganda, mengantisipasi hujan ekstrem sekaligus memastikan ketahanan pangan ketika pola curah hujan tak menentu. Investasi pada infrastruktur hijau, sistem peringatan dini, serta diversifikasi energi dan pangan semakin mendesak.
Perusahaan dengan jejak karbon tinggi juga menghadapi tekanan lebih besar. Investor global kini menilai risiko iklim bukan sebagai isu masa depan, melainkan faktor nyata yang memengaruhi nilai ekonomi. Indonesia, dengan target Net Zero 2060, harus melihat fenomena La Niña sebagai pengingat bahwa ketidakpastian iklim semakin permanen.

Pesan yang Tak Bisa Diabaikan
PBB melalui WMO menekankan bahwa La Nina dan El Nino bukan sekadar fenomena musiman. Keduanya adalah bagian dari sistem iklim global yang kini terganggu oleh aktivitas manusia. Suhu antara September hingga November diperkirakan tetap di atas normal di sebagian besar belahan bumi, baik utara maupun selatan.
Baca juga: Pemanasan Global Ancam 40% Ekonomi Dunia, Siapa Bisa Selamat?
Bagi Indonesia, peringatan ini menjadi alarm keras. Adaptasi iklim tak bisa ditunda. Tanpa langkah nyata mengurangi emisi dan memperkuat ketahanan ekosistem, La Nina maupun El Nino hanya akan menjadi wajah berbeda dari krisis yang sama, bumi yang semakin panas. ***
- Foto: WMO – Gedung Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di Jenewa, Swiss. Lembaga di bawah naungan PBB ini merilis peringatan terbaru terkait potensi kembalinya La Nina pada 2025.


