VIETNAM kembali mencuri perhatian dunia internasional. Pemerintah di Hanoi resmi menyetujui penyerahan satu juta ton pengurangan emisi COâ‚‚ kepada International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bagian dari Grup Bank Dunia. Keputusan ini tertuang dalam Resolusi No. 261/NQ-CP tanggal 29 Agustus 2025.
Langkah tersebut memperkuat komitmen Vietnam terhadap kesepakatan yang sudah dijalankan sejak 2020, melalui Emission Reductions Payment Agreement (ERPA). Kesepakatan awal mencakup 10,3 juta ton pengurangan emisi dari program hutan tanaman di kawasan Vietnam utara–tengah.
Surplus Tak Terduga dari Program Hutan
Dalam implementasinya, hasil di lapangan melebihi target. Pada periode 2018–2019, Vietnam mampu menghasilkan 5,9 juta ton emisi tambahan di luar kesepakatan. Dari angka surplus itu, satu juta ton kini dialihkan kepada IBRD dengan nilai rata-rata US$ 5 per ton. Total tambahan dana sekitar US$ 5 juta akan segera diterima pemerintah Vietnam.
Baca juga: Pasar Karbon Indonesia Butuh Rp4.000 Triliun, SRN PPI Jadi Kunci
Dana tersebut tidak tinggal di kas negara. Seperti dilaporkan ESG News, pemerintah memastikan distribusi langsung kepada pemilik hutan, pemerintah komune, dan lembaga pengelola hutan alam di lima provinsi. Lima provinsi itu, Thanh Hoa, Nghe An, Ha Tinh, Quang Tri, serta Thua Thien Hue. Sebagian dana juga dipakai memperkuat perlindungan hutan, mendukung mata pencaharian berkelanjutan, dan menambah pendapatan komunitas lokal.
Relevansi untuk Komitmen Paris Agreement
Kesepakatan dengan IBRD menyebut bahwa sekitar 95% kredit karbon yang ditransfer akan dikembalikan kepada Vietnam. Skema ini memungkinkan kredit tersebut dihitung sebagai kontribusi resmi Vietnam dalam mencapai Nationally Determined Contributions (NDC), sesuai dengan kewajiban di bawah Paris Climate Agreement.

Sisa 4,9 juta ton pengurangan emisi tetap disimpan pemerintah. Hal ini mengantisipasi kebutuhan domestik dalam mencapai target NDC di masa depan, sekaligus menunggu dinamika pasar karbon global yang masih terbatas permintaannya.
Baca juga: Uni Eropa Longgarkan Target Iklim 2040, Negara Berkembang Masuk Radar Kredit Karbon
Pelajaran untuk Kawasan
Model Vietnam ini layak dicermati Indonesia dan negara Asia Tenggara lain. Pertama, keberhasilan menciptakan surplus pengurangan emisi menunjukkan pentingnya sistem monitoring yang transparan dan kredibel. Kedua, mekanisme distribusi manfaat ke tingkat komunitas bisa memperkuat legitimasi sosial serta mencegah konflik lahan.
Ketiga, harga jual US$ 5 per ton masih relatif rendah dibanding potensi pasar karbon internasional. Namun, langkah awal ini memperlihatkan bahwa hutan tanaman dan hutan alam dapat menjadi sumber pendapatan nyata jika dikelola dengan prinsip keberlanjutan.
Baca juga: Hutan Tropis Indonesia, Aset Hijau Baru dalam Perdagangan Karbon Global
Di saat banyak negara masih berdebat soal regulasi pasar karbon, Vietnam telah menunjukkan bukti konkret. Bukan hanya menambah pemasukan negara, tetapi juga menyeimbangkan kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial di tingkat akar rumput.
Keputusan ini memberi sinyal kuat bahwa kawasan Asia Tenggara mampu memainkan peran penting dalam tata kelola iklim global. Bagi Vietnam, setiap ton karbon bukan sekadar angka, melainkan peluang memperkuat daya saing ekonomi hijau sekaligus menjaga hutan yang menjadi paru-paru regional.
Pertanyaannya, akankah negara lain berani menempuh jalur serupa?
- Foto:  Q. Hưng Phạm/ Pexels – Bentang alam hijau di Vietnam utara–tengah. Kawasan hutan dan persawahan ini menjadi bagian penting program pengurangan emisi COâ‚‚ sekaligus sumber kredit karbon negara.


