BPA dalam Kemasan Plastik, Ancaman Global yang Mulai Ditekan

DARI botol minum hingga galon air, plastik polikarbonat telah lama jadi bagian keseharian. Namun, di balik kepraktisannya, ada bahaya yang semakin sulit diabaikan, Bisfenol A (BPA). Zat kimia ini sudah terbukti mudah bermigrasi ke makanan atau minuman, terutama ketika wadah terpapar panas, sinar matahari, atau digunakan berulang.

Jejak BPA di Tubuh Manusia

Sejak 1950-an, BPA dipakai untuk membuat plastik keras dan transparan. Kini, penelitian menunjukkan 93 persen populasi dunia memiliki jejak BPA di tubuh mereka. Dampaknya tidak sepele. Gangguan hormon, penurunan kesuburan, masalah metabolisme, hingga risiko kanker.

Kelompok rentan, seperti anak-anak dan ibu hamil, bahkan menghadapi risiko lebih serius. Studi internasional mengaitkan paparan BPA dengan penurunan kecerdasan, gangguan perilaku, diabetes, penyakit jantung, hingga kanker payudara dan prostat.

Baca juga: Plastik Global, Konsensus Sulit di Tengah Lobi dan Politik Minyak

“BPA akan luruh saat bersentuhan dengan air. Prosesnya semakin cepat bila terkena panas atau dicuci berulang,” jelas Pakar Polimer Universitas Indonesia, Profesor Mochamad Chalid. Galon yang dipakai lebih dari satu tahun, menurutnya, rawan mengalami migrasi BPA dalam jumlah berbahaya.

Sorotan di Forum Global

Isu ini mencuat dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) di Busan, Korea Selatan, forum resmi PBB untuk mengatasi polusi plastik. Sebanyak 85 negara sepakat memasukkan BPA ke “Daftar 1 Bahan Kimia Berbahaya”.

Negara-negara yang dipimpin Norwegia, dengan dukungan Uni Eropa, Australia, Kanada, hingga negara-negara Afrika, mendorong larangan total penggunaan kemasan BPA. Selain itu, naskah negosiasi juga menekankan kewajiban pelabelan agar konsumen mendapatkan informasi jelas tentang kandungan berbahaya dalam produk plastik.

Bayangan botol plastik menegaskan ancaman tersembunyi dari Bisfenol A (BPA). Paparan zat kimia ini terbukti berisiko bagi kesehatan manusia.Foto: Ilustrasi/ Mart Production/ Pexels.

Finalisasi agenda ini akan menentukan peta jalan global. Mulai dari jadwal penghapusan bertahap, dukungan teknis bagi negara berkembang, hingga sistem pemantauan.

Posisi Indonesia, Transisi Empat Tahun

Indonesia sudah melangkah dengan menerbitkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 yang mewajibkan label peringatan pada galon polikarbonat. Namun, aturan ini baru efektif 2028. Produsen diberi masa transisi empat tahun untuk menyesuaikan kemasan atau mencari alternatif bahan yang lebih aman.

Baca juga: Indonesia Tak Bisa Lagi Netral soal Mikroplastik

Di satu sisi, aturan ini memberi ruang adaptasi bagi industri. Di sisi lain, publik tetap menghadapi risiko paparan BPA dalam periode transisi yang cukup panjang. Tantangannya adalah bagaimana memastikan edukasi konsumen berjalan, sambil mendorong inovasi kemasan yang ramah kesehatan dan lingkungan.

Menuju Era Bebas BPA

Perdebatan soal BPA bukan semata isu kesehatan publik. Ini juga menyangkut daya saing industri, kepercayaan konsumen, dan komitmen negara terhadap kesepakatan global. Jika larangan total diberlakukan, produsen plastik dan makanan-minuman di seluruh dunia harus menyesuaikan diri, termasuk di Indonesia.

Baca juga: Tanpa Disadari, Kita Makan Plastik Setiap Hari

Pertemuan di Busan menjadi penanda bahwa isu ini sudah keluar dari ranah akademik dan masuk ke meja perundingan internasional. Target akhirnya jelas, menciptakan standar global yang lebih ketat, melindungi kesehatan masyarakat, dan menutup celah penggunaan bahan kimia berbahaya dalam rantai pasok plastik.

Langkah ini sejalan dengan tren menuju ekonomi hijau dan konsumsi berkelanjutan. Dunia bergerak ke arah produk yang lebih aman, bersih, dan transparan. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap mempercepat transisi, atau menunggu hingga regulasi memaksa? ***

  • Foto: Jan van der Wolf/ Pexels – Barisan botol plastik sekali pakai. Isu Bisfenol A (BPA) dalam kemasan polikarbonat jadi sorotan global karena ancaman kesehatan dan lingkungan.
Bagikan