Sanksi Sosial Pembakar Sampah, Rasa Malu Jadi Alat Baru Perubahan Perilaku

JAKARTA kembali jadi laboratorium sosial dalam mencari cara mengatasi krisis lingkungan. Setelah berbagai aturan denda gagal menimbulkan efek jera, kini sanksi sosial berbasis rasa malu dipilih sebagai pendekatan baru melawan kebiasaan membakar sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan pihaknya akan mulai menerapkan hukuman sosial bagi pelaku open burning dengan menampilkan wajah dan identitas pelaku di media sosial resmi DLH. “Ke depan, pelaku pembakaran sampah bisa diberikan sanksi sosial berupa penampakan wajahnya di media sosial Dinas LH,” ujarnya di Balai Kota, Jumat (24/10).

Langkah ini diambil setelah disadari bahwa denda administratif saja tak cukup. Meski aturan melarang pembakaran sampah sudah lama berlaku, praktik itu masih marak di permukiman padat, pinggiran sungai, dan kawasan industri kecil. “Open burning itu menimbulkan polusi yang luar biasa dan mengandung karsinogen. Kami berharap masyarakat sadar dan menghentikan kebiasaan ini,” kata Asep.

Ketakutan Baru: Bukan Uang, Tapi Malu

Gagasan sanksi sosial ini berawal dari usulan Profesor Riset BRIN, Muhammad Reza Cordova. Ia menilai denda Rp500 ribu terlalu ringan untuk memicu perubahan perilaku. “Kalau boleh menambahkan, tambahkan sanksi sosial. Orang Indonesia lebih takut malu daripada bayar,” ujarnya.

Baca juga: Darurat Mikroplastik Udara, Krisis Baru yang Mengancam 18 Kota Indonesia

Menurut Reza, publikasi wajah pelanggar di ruang publik, misalnya papan kelurahan atau kanal media sosial resmi pemerintah, akan memberikan tekanan sosial yang kuat. “Kalau sudah dipajang, saya yakin mereka malu dan kecil kemungkinan mengulang,” tambahnya.

Pendekatan berbasis rasa malu ini bukan hal baru di dunia. Beberapa kota di Jepang dan Korea Selatan telah menggunakan “naming and shaming policy” untuk pelanggaran lingkungan, terbukti efektif meningkatkan kepatuhan warga tanpa menambah beban penegakan hukum.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Dari Sampah ke Langit, Polusi yang Tak Lagi Kasat Mata

Langkah ini juga sejalan dengan temuan riset BRIN tentang mikroplastik dalam air hujan Jakarta. Studi yang dipimpin Reza sejak 2022 menunjukkan, setiap meter persegi kota ini “diguyur” rata-rata 15 partikel mikroplastik per hari.

Partikel halus itu berasal dari banyak sumber, termasuk pembakaran sampah plastik. “Siklus plastik kini tak berhenti di laut, tapi naik ke langit dan turun lagi bersama hujan,” jelasnya. Mikroplastik yang lebih halus dari debu bisa ikut terhirup, menempel di paru, atau masuk ke air dan makanan.

Baca juga: Hujan Mikroplastik di Jakarta, Bukti Gagalnya Transisi Sampah Kota

Dengan demikian, kebiasaan membakar sampah bukan sekadar soal estetika lingkungan, melainkan bagian dari rantai polusi udara yang kini kembali ke tubuh manusia. “Langit Jakarta memantulkan perilaku manusia di bawahnya,” kata Reza.

Sanksi sosial hanyalah permulaan. Tantangan terbesar ada di hulu. Reduksi plastik sekali pakai, edukasi pemilahan sampah, dan sistem pengelolaan limbah rumah tangga yang efektif.

Pendekatan berbasis rasa malu bisa menjadi sinyal kuat bahwa krisis lingkungan tak lagi bisa diselesaikan dengan peraturan semata, melainkan juga dengan kesadaran kolektif dan tekanan moral sosial. ***

  • Foto: PexelsIlustrasi pembakaran terbuka (open burning) yang masih sering terjadi di kawasan perkotaan. Aktivitas ini menjadi salah satu sumber utama polusi udara dan emisi mikroplastik di atmosfer Jakarta.
Bagikan