Hujan Mikroplastik di Jakarta, Bukti Gagalnya Transisi Sampah Kota

KETIKA hujan turun di Jakarta, kini bukan hanya air yang membasahi bumi. Butiran mikroplastik ikut menetes dari langit, mengisyaratkan darurat baru dalam krisis lingkungan perkotaan. Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuktikan bahwa air hujan di Ibu Kota mengandung partikel plastik mikroskopis yang berasal dari aktivitas manusia.

Dari TPA ke Langit Jakarta

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengaitkan temuan itu dengan gunungan sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). “Bagaimana tidak mikroplastik, kalau sampahnya ditumpuk semua di lingkungan. Bantargebang pasti berkontribusi besar,” ujar Hanif di Jakarta Timur, Senin (20/10/2025).

Di wilayah aglomerasi seperti Bekasi dan Tangerang, sampah yang menggunung lama-kelamaan terpapar panas dan hujan. Plastik yang membusuk dan terdegradasi menghasilkan partikel mikro berukuran mikron, ringan dan mudah terbang ke udara.

Baca juga: Hujan Mikroplastik di Jakarta, Krisis Baru Polusi Urban

Namun, praktik open dumping di sejumlah TPA masih berlangsung. Akibatnya, partikel plastik yang beterbangan akhirnya terhisap ke atmosfer dan turun kembali bersama air hujan. “Kita wajib tangani dengan serius, dampaknya signifikan untuk lingkungan,” tegas Hanif.

Jejak Plastik di Atmosfer

Peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, menjelaskan bahwa sejak 2022 timnya menemukan mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di Jakarta. Sumbernya beragam: serat sintetis dari pakaian, debu jalanan dan ban kendaraan, sisa pembakaran sampah plastik, hingga degradasi plastik di ruang terbuka.

Rata-rata, terdapat 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari di kawasan pesisir Jakarta. Polimer yang paling dominan adalah poliester, nilon, polietilena, polipropilena, dan polibutadiena, jenis yang juga digunakan dalam ban kendaraan dan pakaian.

Baca juga: Krisis Mikroplastik di Langit Jakarta, Ujian Kepemimpinan Lingkungan Pemprov DKI

Fenomena ini disebut atmospheric microplastic deposition, sebuah siklus di mana plastik terangkat ke udara, terbawa angin, lalu jatuh kembali ke bumi lewat hujan. “Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi,” kata Reza.

Tumpukan sampah plastik di salah satu zona TPA Bantargebang, Bekasi, terus menggunung di tengah padatnya kawasan urban Jabodetabek. Degradasi plastik di area terbuka seperti ini menjadi salah satu sumber utama mikroplastik di atmosfer yang kini terdeteksi dalam hujan Jakarta. Foto: Tom Fisk/ Pexels.

Ancaman Tak Kasatmata

Ukurannya yang lebih halus dari debu membuat mikroplastik sulit disaring dan berpotensi masuk ke saluran pernapasan. Lebih berbahaya lagi, partikel ini membawa bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat. Dalam udara perkotaan yang sudah sarat polutan, mikroplastik dapat menyerap zat kimia lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

“Yang beracun bukan air hujannya, tapi partikel mikroplastik di dalamnya,” jelas Reza. Dampak jangka panjangnya bisa memengaruhi kesehatan manusia dan ekosistem urban.

Tantangan bagi Kebijakan Lingkungan

Temuan ini menjadi alarm keras bagi tata kelola sampah di Indonesia. Penutupan TPA dengan tanah, seperti yang direncanakan pemerintah, hanya solusi sementara. Diperlukan sistem pengelolaan sampah tertutup dan berteknologi rendah emisi agar partikel plastik tak lagi beterbangan ke atmosfer.

Di tengah ambisi Indonesia mencapai target pengurangan 70% sampah plastik laut pada 2040, hujan mikroplastik di langit Jakarta menjadi cermin betapa persoalan plastik kini telah menembus batas bumi dan udara. ***

  • Foto: Tom Fisk/ Pexels Gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, tampak mengular hingga ke cakrawala. Dari lokasi seperti inilah partikel mikroplastik terlepas ke udara, terbawa angin, dan akhirnya turun kembali bersama hujan di Jakarta.
Bagikan