Krisis Mikroplastik di Langit Jakarta, Ujian Kepemimpinan Lingkungan Pemprov DKI

Setelah riset BRIN mengungkap mikroplastik dalam air hujan, Pemprov DKI memperluas mitigasi dari bumi ke atmosfer. Lewat platform data lingkungan JEDI, Jakarta mencoba membangun tata kelola udara yang lebih bersih dan berbasis sains, sebuah ujian nyata bagi komitmen kepemimpinan lingkungan kota terbesar di Indonesia.

HUJAN di Jakarta kini membawa cerita baru tentang krisis lingkungan perkotaan.
Setelah riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan partikel mikroplastik dalam air hujan ibu kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bergerak cepat. Melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Pemprov memperkuat pengendalian sampah plastik dari hulu hingga hilir, bahkan hingga ke langit Jakarta.

“Polusi plastik kini bukan hanya urusan laut atau sungai, tetapi sudah sampai di langit Jakarta,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto.

Temuan BRIN sejak 2022 mencatat rata-rata 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari pada air hujan di kawasan pesisir Jakarta. Partikel tersebut berasal dari serat sintetis pakaian, debu ban kendaraan, pembakaran sampah plastik, hingga degradasi plastik di ruang terbuka.

Baca juga: Hujan Mikroplastik di Jakarta, Krisis Baru Polusi Urban

Fenomena ini disebut atmospheric microplastic deposition, siklus baru di mana plastik terangkat ke udara dan kembali turun bersama hujan.

Dari Rumah Tangga ke Atmosfer

Respons Pemprov DKI tak berhenti pada kampanye publik. Sejumlah kebijakan diperkuat dan diperluas, di antaranya:

  • Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
  • Jakstrada Persampahan yang menargetkan 30% pengurangan sampah dari sumbernya.
  • Perluasan bank sampah, TPS 3R, dan inisiatif daur ulang komunitas.

“Upaya pengurangan plastik harus dimulai dari sumbernya. Dari rumah tangga, industri, hingga sektor jasa,” tegas Asep.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

Kini, DKI melangkah lebih jauh lewat sistem Jakarta Environmental Data Integration (JEDI), platform data lingkungan berbasis sensor dan analitik. DLH bersama BRIN akan menambahkan parameter mikroplastik di udara dan air hujan, agar hasil pengukuran dapat menjadi dasar kebijakan pengendalian polusi plastik yang lebih akurat.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Jakarta Tanpa Plastik di Langit dan Bumi

Sebagai langkah edukatif, Pemprov meluncurkan kampanye “Jakarta Tanpa Plastik di Langit dan Bumi.”
Kampanye ini menekankan perubahan perilaku publik. Mulai dari menolak plastik sekali pakai, memilah sampah rumah tangga, hingga tidak membakar limbah sembarangan.

“Langit Jakarta sedang mengingatkan kita untuk lebih bijak mengelola bumi,” ujar Asep.

Baca juga: Plastik Dunia Mandek di Jenewa, Minyak Jadi Batu Sandungan

Pemprov juga membuka ruang kolaborasi dengan dunia usaha, lembaga riset, dan komunitas lingkungan untuk mengembangkan riset, teknologi filtrasi udara, hingga inovasi produk ramah lingkungan.

Ujian Kepemimpinan Lingkungan

Bagi pengamat kebijakan, langkah DKI ini bukan sekadar respons teknis, melainkan ujian kepemimpinan lingkungan perkotaan. Jakarta memiliki peluang menjadi model kota pertama di Asia Tenggara yang membangun sistem mitigasi polusi plastik atmosferik secara terpadu.

Baca juga: Indonesia Tak Bisa Lagi Netral soal Mikroplastik

“Kita tidak anti terhadap plastik, karena plastik bagian dari peradaban modern. Yang kita tolak adalah plastik yang mencemari lingkungan,” kata Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI, Firdaus Ali.

Dalam konteks ini, Jakarta sedang menempuh jalan panjang menuju urban sustainability, menghubungkan bumi, air, dan udara dalam satu sistem kebijakan berbasis sains dan data. ***

  • Foto: Jeffry SS/ Pexels Langit Jakarta saat senja di kawasan pusat bisnis Sudirman–Thamrin. Di balik gemerlap kota, partikel mikroplastik kini terdeteksi di udara dan air hujan Ibu Kota.
Bagikan