Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan dalam Krisis Global

SAAT ini, Bumi menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Enam dari sembilan batas planet, menurut laporan Planetary Health Check, telah dilampaui. Polusi, perubahan iklim, degradasi biosfer, penggunaan lahan, air tawar, dan biogeokimia telah melampaui kapasitas alami Bumi.

Ketiga batas lainnya—ozon, aerosol atmosfer, dan pengasaman laut—masih dalam kategori aman, namun mendekati ambang batas yang mengkhawatirkan.

Dalam Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Konvensi untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, ilmuwan Johan Rockstrom menegaskan perlunya pendekatan yang lebih holistik.

“Krisis ini mencerminkan hilangnya hubungan manusia dengan alam. Kita terjebak dalam ekonomi berbasis fosil, konsumerisme berlebihan, dan pertumbuhan GDP yang memutus koneksi kita dengan Bumi,” ujar Direktur Potsdam Institute for Climate Impact ini.

Lahan, Fondasi Keberlanjutan Bumi

Rockstrom menekankan pentingnya menjaga tanah sebagai fondasi keberlanjutan planet ini. Tanah berfungsi sebagai penjaga stabilitas iklim, keanekaragaman hayati, air, dan sistem lahan secara keseluruhan. Tanah yang sehat, menurutnya, adalah kunci untuk memastikan Bumi tetap stabil bagi generasi mendatang.

Baca juga: Agenda Aksi Riyadh, Jawaban Degradasi Lahan Global?

Namun, siapa sebenarnya yang menjaga tanah dan alam dengan cara yang paling berkelanjutan? Jawabannya terletak pada masyarakat adat.

Masyarakat Adat, Pilar Keberlanjutan yang tak Tergantikan

Menurut data PBB, terdapat lebih dari 476 juta masyarakat adat yang tersebar di 90 negara. Meski hanya mencakup 5–6 persen populasi dunia, mereka menjaga hampir 80 persen keanekaragaman hayati global. Di kawasan Amazon dan Kongo, 54 persen hutan tetap utuh karena berada di bawah pengelolaan masyarakat adat. “Masyarakat adat adalah penjaga terakhir untuk melindungi stabilitas sistem planet ini,” kata Rockstrom.

Mereka memiliki hubungan spiritual dan budaya yang mendalam dengan tanah. Ketua Forum Tetap PBB tentang Isu-isu Masyarakat Adat, Hindou Oumarou Ibrahim, menambahkan, “Bagi kami, tanah adalah akar dari semua kehidupan. Ia menumbuhkan tanaman obat, menyuburkan rumput untuk ternak, dan menyediakan perlindungan.”

Konvensi PBB melibatkan masyarakat adat dalam dialog untuk berbagi pengetahuan tradisional dan praktik terbaik, menghadapi degradasi lahan dan krisis iklim di #COP16Riyadh. Foto: X/ @Cop16Riyadh.

Mengarusutamakan Pengetahuan Tradisional

Pengetahuan tradisional masyarakat adat berpotensi menjadi solusi dalam mengatasi krisis lingkungan global. Johan Rockstrom menyerukan implementasi cepat pendekatan ini dalam restorasi lahan dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Baca juga: COP16 Riyadh Janji Rp191 T untuk Atasi Degradasi Lahan

Namun, tantangan besar muncul dari marjinalisasi masyarakat adat di banyak negara. Perjuangan mereka untuk diakui sebagai pemilik sah tanah adat masih berlangsung. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat di Indonesia, misalnya, telah mangkrak selama 14 tahun. Padahal, pengakuan hak masyarakat adat sangat penting untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam.

Membangun Koneksi Kembali dengan Alam

Krisis yang terjadi saat ini menunjukkan perlunya transformasi paradigma manusia modern. Mengintegrasikan pengetahuan masyarakat adat ke dalam kebijakan nasional dan internasional bukan hanya sebuah alternatif, tetapi kebutuhan mendesak.

Baca juga: Indonesia Kehilangan 150 Ribu Hektar Sawah Setiap Tahun

“Budaya masyarakat adat adalah bantuan terbaik yang kita miliki untuk membangun kembali hubungan dengan Bumi,” ujar Rockstrom. Jika dunia serius menangani krisis ini, kontribusi masyarakat adat tidak boleh lagi diabaikan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *