Perampasan Lahan Adat Meluas, UU Perlindungan Masih Mandek

DI BALIK jargon pembangunan dan investasi, masyarakat adat Indonesia terus menghadapi kenyataan pahit: wilayah mereka terus menyempit, hak mereka terpinggirkan. Data terbaru menunjukkan bahwa sepanjang 2024 saja, lebih dari 2,8 juta hektare wilayah adat dirampas. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, memperkuat sinyal darurat terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Kondisi ini bukan semata soal angka. Ini tentang keberlangsungan hidup komunitas yang selama berabad-abad menjaga hutan, tanah, dan budaya mereka. Namun, di tengah laju ekspansi industri dan proyek negara, suara masyarakat adat kerap tak terdengar, bahkan dibungkam.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil, mendesak pemerintah agar segera menerbitkan Undang-Undang Masyarakat Adat. Menurut mereka, UU ini adalah langkah penting untuk memberikan kepastian hukum atas perlindungan hak dan wilayah adat yang selama ini masih abu-abu dalam praktik lapangan.

Hukum Mandek, Konflik Agraria Terus Mengancam

“Tanpa perlindungan hukum yang jelas, masyarakat adat terus menjadi korban kriminalisasi dan intimidasi,” ujar Siti Rakhma Mary, perwakilan Koalisi, dalam keterangannya. Ia menilai, sejumlah regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU Ibu Kota Negara, hingga UU KSDAHE justru memperparah situasi, membuka celah legal bagi korporasi merampas tanah adat atas nama pembangunan.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Janji Perlindungan atau Sekadar Ilusi Hukum?

Sepanjang 2024, sedikitnya terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat yang melibatkan 140 komunitas adat. Siti menyoroti betapa panjang dan rumitnya prosedur pengakuan wilayah adat, yang justru membuat banyak komunitas kian rentan terhadap konflik agraria.

Angka yang Tak Seimbang, Pengakuan Adat vs Izin Usaha

Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hingga 2023, tercatat 26,9 juta hektare wilayah adat yang telah diregistrasi. Namun, hanya 14 persen yang telah mendapat pengakuan resmi. Padahal, pengakuan formal adalah syarat penting untuk perlindungan hukum.

Masyarakat adat menjaga hutan sebagai sumber kehidupan dan identitas, di tengah ancaman perampasan wilayah. Foto: Ilustrasi/ Oriz Mufassa/ Pexels.

Ironisnya, pemerintah justru jauh lebih cepat dalam menerbitkan izin usaha kepada korporasi dibandingkan mengesahkan status wilayah adat. Hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan luas 221.648 hektare—angka yang jauh dari kebutuhan riil di lapangan.

Pasca MK 35, Harapan yang Belum Tercapai

Paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012—yang mengakui hutan adat sebagai milik masyarakat adat, bukan negara—harapannya besar. Namun harapan itu belum berbuah nyata.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Jalan Panjang Menuju Pengesahan

“Sebagai orang yang ikut dalam tim penyusun anotasi putusan MK 35, saya membayangkan persoalan pengakuan dan perlindungan hutan adat akan selesai. Tapi itu hanya mimpi. Di lapangan, nyaris tak ada perubahan,” tegas Siti.

Keberlanjutan di Indonesia seharusnya tidak bisa dilepaskan dari masyarakat adat. Mereka bukan penghalang pembangunan. Mereka adalah penjaga terakhir benteng ekologi Nusantara. Jika negara abai, maka kita semua akan kehilangan lebih dari sekadar tanah: kita kehilangan akar dan masa depan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *