Polusi dan Kebisingan Kota, Kombinasi Sunyi yang Mematikan

KITA terbiasa menyalahkan udara kotor atas penyakit paru dan asma. Tapi riset terbaru dari Eropa mengungkap ancaman yang lebih senyap: gabungan polusi udara dan kebisingan lalu lintas bisa memicu risiko stroke lebih besar dari yang selama ini disangka.

Penelitian dilakukan oleh tim dari Institute of Environmental Medicine (IMM), Karolinska Institutet di Swedia. Mereka menganalisis data kesehatan lebih dari 136.000 orang dewasa di Swedia, Denmark, dan Finlandia.

Hasilnya mencemaskan. Peningkatan partikel halus (PM2.5) sebesar 5 µg/m³ meningkatkan risiko stroke sebesar 9 persen. Sementara kenaikan tingkat kebisingan sebesar 11 dB menambah risiko stroke hingga 6 persen.

Namun yang lebih mengejutkan: ketika dua faktor ini hadir bersama, efeknya bukan hanya bertambah—tetapi saling memperkuat. Di lingkungan yang tenang, peningkatan polusi tetap berisiko. Tapi di kawasan bising, risiko stroke melonjak dua kali lipat.

Risiko di Balik “Batas Aman”

Selama ini, banyak negara—termasuk Indonesia—berpegang pada standar paparan polusi dan kebisingan yang “masih dalam batas wajar”. Tapi studi ini menunjukkan, bahkan paparan pada level yang dinilai rendah pun tetap membahayakan kesehatan.

Baca juga: Meniru Kota Dunia, Strategi Baru Jakarta Atasi Polusi Udara

“Temuan kami menunjukkan bahwa batas paparan saat ini mungkin tidak cukup untuk melindungi masyarakat,” jelas peneliti utama Huyen Nguyen Thi Khanh. Ia menambahkan, regulasi perlu diperkuat, terutama untuk kawasan urban padat kendaraan.

Kota dan Beban Ganda

Di banyak kota besar, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan, masyarakat hidup dalam eksposur ganda setiap hari. Polusi dari kendaraan bermotor dan industri berpadu dengan suara klakson, mesin, dan lalu lintas padat yang nyaris tak berhenti.

Kepadatan lalu lintas di kawasan selatan Jakarta. Kombinasi polusi udara dan kebisingan kendaraan terbukti meningkatkan risiko stroke. Foto: El Jusuf/ Pexels.

Kondisi ini bisa memperparah beban sistem saraf dan jantung manusia. Stres kronis, peradangan, hingga gangguan sirkulasi darah menjadi risiko nyata yang tak bisa lagi diabaikan. “Efeknya tidak hanya pada paru-paru atau tenggorokan. Ini menyasar otak dan pembuluh darah,” tulis laporan tersebut, yang dipublikasikan dalam jurnal Environment International.

Arah Kebijakan Harus Bergeser

Bagi para perancang kebijakan, hasil ini menyimpan pesan penting. Pengendalian polusi dan pengurangan kebisingan tak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus dipandang sebagai satu ekosistem risiko yang terintegrasi.

Dengan memetakan wilayah dengan tingkat polusi dan kebisingan tinggi, pemerintah bisa mengalokasikan sumber daya lebih tepat sasaran. Ini dapat mencegah lebih banyak kasus stroke dan mengurangi beban biaya kesehatan nasional.

Baca juga: Polusi Udara Indonesia, Mengapa Masih yang Terburuk di Asia Tenggara?

Peningkatan ruang hijau, pembatasan kendaraan di kawasan padat, dan penggunaan material peredam suara dalam pembangunan kota bisa menjadi bagian dari solusi. Urban design yang berorientasi pada kesehatan menjadi kunci.

Mengelola Kota untuk Kesehatan

Bagi Indonesia, yang tengah membangun Ibu Kota Nusantara dan merevitalisasi kota-kota besar, studi ini bisa menjadi pijakan. Polusi dan kebisingan harus diposisikan sebagai indikator utama dalam perencanaan kota berkelanjutan.

Kesadaran masyarakat pun perlu dibangun. Stroke bukan hanya soal kolesterol dan gaya hidup. Udara yang kita hirup dan suara yang kita dengar setiap hari bisa menjadi pemicu diam-diam.

Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 T Setiap Tahun

Di tengah deru pembangunan, kota tak boleh lagi menjadi ruang yang membahayakan warganya. Karena kota yang sehat bukan sekadar bersih secara visual—tetapi juga tenang dan ramah untuk pikiran, tubuh, dan jantung. ***

  • Foto: Hamdani S Rukiah/ SustainReview – Kota Jakarta dalam dera polusi udara, Sabtu (12/4/2025) pukul 07:40 WIB.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *