INDONESIA menyimpan kekayaan panas bumi luar biasa. Potensinya mencapai 24,6 gigawatt (GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Namun, kapasitas terpasang baru menyentuh 2,3 GW. Padahal, panas bumi bisa menjadi tulang punggung transisi energi bersih nasional.
Lalu, mengapa pemanfaatannya masih tersendat?
Investasi Besar di Depan, Imbal Hasil di Belakang
PLN mencatat, butuh dana sekitar US$ 2,7 miliar atau Rp 44,5 triliun untuk menambah 1 GW kapasitas PLTP. Nilai ini tergolong tinggi karena seluruh biaya eksplorasi dan pembangunan ditarik ke awal proyek. Skema ini disebut front loaded investment.
Namun, menurut Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, biaya operasional PLTP justru rendah. Tidak ada pengeluaran bahan bakar. Setelah fase eksplorasi dan konstruksi rampung, energi dari perut bumi bisa dinikmati hampir tanpa biaya tambahan.
“Energinya setengah gratis. Yang mahal itu di depan, saat pengeboran dan pengembangan awal,” ujar Darmawan dalam rapat dengan DPR, 15 Mei 2025.
Baca juga: Indonesia Incar Posisi Terdepan dalam Energi Panas Bumi Global
Saat ini, PLN telah bermitra dengan sejumlah perusahaan nasional dan internasional. Total kapasitas terpasang mencapai 2,3 GW. Tapi angka ini masih jauh dari potensi maksimal 24,6 GW yang belum tergarap.
Potensi Melimpah, Hambatan Struktural
Dengan posisi geografis di zona cincin api, Indonesia punya keunggulan unik dalam energi panas bumi. Tapi kenyataannya, proses pengembangan PLTP seringkali terhambat oleh izin lahan, birokrasi lintas lembaga, hingga ketidakpastian risiko pengeboran.
Risiko eksplorasi masih menjadi momok besar. Tanpa jaminan risiko dari negara atau skema asuransi eksplorasi, investor enggan menaruh modal. Padahal, pengeboran bisa gagal tanpa hasil, tapi tetap memerlukan dana besar.
Baca juga: Panas Bumi Hasilkan Bonus Hampir Rp 1 Triliun

Selain itu, regulasi yang belum sinkron juga menjadi ganjalan. Beberapa proyek terhambat karena tumpang tindih perizinan antara sektor kehutanan dan energi.
Target Ambisius, tapi Gap Pendanaan Besar
Kementerian ESDM menargetkan investasi EBT mencapai US$ 1,8 miliar pada 2025—naik dari target tahun sebelumnya. Namun, proyeksi dari Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi menunjukkan bahwa hingga 2030, Indonesia butuh US$ 94,6 miliar untuk mendorong EBT, termasuk panas bumi.
Sumber daya energi baru dan terbarukan lain juga menjanjikan. Potensi tenaga surya mencapai 3.286 GW, angin 155 GW, dan air 95 GW. Tapi panas bumi tetap memiliki keunggulan sebagai sumber energi baseload yang stabil, tidak tergantung cuaca.
Baca juga: Indonesia, Raksasa Panas Bumi Dunia yang Belum Terbangun
Akselerasi hanya bisa terjadi jika ada terobosan dalam kebijakan pendanaan, reformasi perizinan, serta partisipasi aktif sektor swasta. Instrumen keuangan hijau seperti green bonds atau dukungan multilateral menjadi kunci pembiayaan berkelanjutan.
Menanti Terobosan Kolaboratif
Keberhasilan pengembangan panas bumi memerlukan sinergi. Pemerintah harus menyederhanakan perizinan dan memberikan jaminan eksplorasi. PLN dan pengembang energi dituntut efisiensi. Lembaga keuangan dan investor perlu diberi insentif dan kepastian hukum.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia bukan hanya bisa mengoptimalkan panas bumi sebagai sumber energi bersih, tapi juga menunjukkan kepemimpinan regional dalam transisi energi rendah karbon. ***
- Foto: PT PLN – PLTP Kamojang, di kaki Gunung Guntur, Bandung, pionir energi panas bumi Indonesia sejak 1982. Simbol awal transisi energi bersih dari perut bumi.