BANJIR yang melanda kawasan Puncak, Bogor, pada Minggu (2/3/2025) menjadi alarm keras bagi keberlanjutan lingkungan di wilayah tersebut. Meluapnya Sungai Jayanti di Cisarua bukan sekadar fenomena alam biasa, melainkan indikasi terganggunya keseimbangan ekosistem akibat eksploitasi lahan yang terus berlanjut.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyoroti peran PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dalam perubahan lanskap Puncak yang semakin mengkhawatirkan.
Lanskap yang Berubah, Ancaman yang Mengintai
Dedi Mulyadi menyatakan bahwa lebih dari 1.000 hektar lahan perkebunan teh di Puncak telah beralih fungsi. Padahal, tanaman teh yang telah tumbuh sejak era kolonial Belanda bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga memiliki peran vital dalam konservasi tanah dan air. Ia mendesak PTPN untuk segera menghentikan konversi lahan yang mengorbankan keseimbangan ekologi.
“Saya meminta PTPN untuk menghentikan segala bentuk alih fungsi lahan di Puncak. Data menunjukkan lebih dari 1.000 hektar telah berubah, dan ini berpotensi meningkatkan risiko bencana alam,” ujar Dedi melalui akun Instagramnya @dedimulyadi71, Senin (3/3/2025).
Baca juga: Kepala Daerah Jabodetabek Wajib Bereskan 5 Isu Lingkungan Ini
Keprihatinan ini bukan tanpa alasan. Puncak selama ini dikenal sebagai kawasan resapan air yang mendukung kestabilan ekosistem di daerah hilir, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Alih fungsi lahan, terutama untuk permukiman dan bisnis pariwisata, mengurangi kapasitas serapan tanah dan mempercepat aliran air hujan menuju sungai, meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.

Krisis Ekologi dan Dampak Sosial
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor mencatat bahwa hujan deras yang mengguyur Bogor pada Minggu lalu menyebabkan bencana hidrometeorologi di 28 desa di 16 kecamatan. Seorang warga dilaporkan meninggal akibat banjir bandang, sementara kerusakan infrastruktur seperti jembatan putus dan akses jalan terhambat menambah daftar dampak yang ditimbulkan.
Baca juga: Rencana Alih Fungsi 20 Juta Ha Hutan, Ancaman Deforestasi di Indonesia
Alih fungsi lahan tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Petani teh yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan kini menghadapi ketidakpastian. Perubahan fungsi lahan juga memicu peningkatan suhu mikro di wilayah Puncak, mengurangi daya tariknya sebagai kawasan wisata alam yang sejuk.
Mengembalikan Keseimbangan, Menyelamatkan Masa Depan
Menyadari urgensi masalah ini, Dedi Mulyadi berencana mengundang jajaran PTPN dan Perhutani untuk membahas langkah-langkah pemulihan lingkungan di Jawa Barat. Menurutnya, konservasi harus menjadi prioritas utama dibandingkan keuntungan ekonomi jangka pendek.
“Komitmen untuk kepentingan bangsa harus dimulai dengan menjaga alam dan lingkungan,” tegasnya.
Baca juga: Indonesia Kehilangan 150 Ribu Hektar Sawah Setiap Tahun
Pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Budi Santoso, menilai bahwa solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menerapkan kebijakan tata ruang yang lebih ketat dan memperkuat rehabilitasi lahan. “Reforestasi dan penerapan agroforestri berbasis konservasi dapat menjadi solusi untuk mengembalikan fungsi ekosistem yang terganggu,” ujarnya.
Dengan kondisi yang semakin mengkhawatirkan, langkah nyata dan kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci utama dalam menyelamatkan Puncak dari krisis ekologi. Jika tidak segera ditangani, alih fungsi lahan ini bukan hanya ancaman bagi Puncak, tetapi juga bagi seluruh wilayah di hilir yang bergantung pada keseimbangan ekosistem kawasan ini. ***
- Foto: Ridwan Afriandy/ Pexels – Puncak Bogor.