RENCANA pemerintah untuk mengubah 20 juta hektare hutan menjadi lahan pangan, energi, dan air menuai kritik tajam. Langkah ini dianggap sebagai ancaman besar terhadap komitmen Indonesia untuk menjaga iklim dan biodiversitas, sekaligus meningkatkan risiko deforestasi masif.
Greenpeace Indonesia melalui Juru Kampanye Hutan Sekar Banjaran Aji menegaskan, alih fungsi hutan ini bisa berdampak buruk pada lingkungan. “Pemerintah harus menghentikan deforestasi jika benar-benar ingin mencegah bencana iklim yang lebih parah,” ujarnya.
Menurut Sekar, transparansi pemerintah dalam rencana ini juga menjadi persoalan serius. Hingga kini, rincian mengenai lokasi dan dampak ekologisnya belum dijelaskan secara gamblang.
Benturan dengan Komitmen Iklim
Ironisnya, rencana ini bertolak belakang dengan Rencana Operasional Folu Net Sink 2030 yang dicanangkan pemerintah sebelumnya. Dalam rencana tersebut, pemerintah menetapkan kuota deforestasi hanya sebesar 10,43 juta hektare untuk periode 2021-2030.
Angka itu sendiri sudah mengkhawatirkan, setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera, yang diprediksi melepaskan lebih dari 10 juta gigaton CO2 ke atmosfer.
Baca juga: 20 Juta Hektare Hutan, Solusi Pangan dan Energi atau Ancaman?
Pandangan Presiden Prabowo Subianto soal ekspansi kebun sawit juga menuai kritik. Ia menyebutkan bahwa perluasan lahan sawit tak perlu dikhawatirkan karena Indonesia membutuhkan hal itu untuk mendukung ekonomi dan energi. Namun, Greenpeace menilai pandangan ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang dampak lingkungan yang terjadi.
Dampak terhadap Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati
Retorika kedaulatan pangan dan energi yang digaungkan pemerintah disebut hanya menjadi dalih untuk memperluas lahan sawit. Contoh nyata adalah proyek food estate di Gunung Mas yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan. Proyek ini dinilai tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat adat.
“Masyarakat adat, seperti komunitas Awyu, sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman ekspansi kebun sawit,” kata Sekar.
Baca juga: Hutan Adat: Menyelamatkan Bumi, Melindungi Hak Leluhur
Hutan adat bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati Indonesia yang terus tergerus.

Krisis Iklim dan Beban Indonesia
Juru Kampanye Hutan Greenpeace lainnya, Iqbal Damanik, menyoroti risiko krisis iklim yang diperparah oleh alih fungsi lahan. “Ini akan meningkatkan emisi karbon, memicu kebakaran hutan, dan kabut asap, terutama jika dilakukan di lahan gambut,” ujar Iqbal.
Baca juga: Perhutanan Sosial, Kunci Swasembada Pangan dan Energi
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Indonesia berkewajiban mencegah punahnya spesies akibat aktivitas manusia. Namun, data Global Carbon Project menunjukkan bahwa emisi karbon Indonesia terus meningkat. Dari sektor lahan saja, Indonesia kini menjadi penyumbang emisi terbesar kedua di dunia.
Pertaruhan Masa Depan Hutan Indonesia
Langkah pemerintah ini menjadi alarm bagi para pemerhati lingkungan. Alih fungsi 20 juta hektare hutan bukan sekadar isu lokal, tetapi bagian dari masalah global terkait krisis iklim dan pelestarian biodiversitas. Di satu sisi, kebutuhan pangan, energi, dan air memang penting. Namun, pengelolaannya harus mempertimbangkan keberlanjutan.
Baca juga: Reforestasi 12,7 Juta Hektar Hutan Indonesia Memikat Dunia
Tanpa transparansi dan perencanaan yang matang, proyek ini berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia. Hutan bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga aset vital bagi masa depan ekonomi dan sosial masyarakat. ***
- Foto: Ilustrasi/ Sergey Guk/ Pexels – Hutan wisata di Bali.