Siapa Berhak atas Pantai Labuan Bajo?

LANGIT biru, laut jernih, dan pasir putih Pantai Binongko di Labuan Bajo memang menggoda siapa pun. Namun, keindahan itu sempat tercoreng kabar tak sedap: warga dilarang mengakses pantai oleh pihak pengelola sebuah resort mewah. Kabar itu viral, memicu diskusi tentang siapa sesungguhnya yang berhak atas ruang laut kita?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) langsung bereaksi. Lewat Staf Khusus Menteri, Doni Ismanto Darwin, mereka menegaskan: laut bukanlah milik pribadi. “Larangan semacam itu tak boleh terjadi. Laut adalah common property. Semua orang punya hak untuk menikmati dan mengaksesnya,” ujar Doni.

Pernyataan itu bukan sekadar pembelaan terhadap hak publik, tapi juga upaya memperjelas posisi negara atas ruang laut yang semakin digempur kepentingan investasi wisata. Pemerintah memang membuka pintu selebar-lebarnya untuk pembangunan di pesisir. Tapi, ada garis batas yang tak boleh dilanggar: inklusivitas dan keberlanjutan.

Izin Bukan Kepemilikan

Dalam kerangka hukum, pengelolaan ruang laut diatur lewat izin bernama KKPRL – Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Ini adalah izin dasar, bukan sertifikat kepemilikan. Fungsinya adalah memberi kepastian legal bagi pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas menetap di wilayah laut untuk jangka waktu tertentu.

Baca juga: Krisis Iklim, 3 Situs Warisan Dunia di Indonesia di Ujung Tanduk

Artinya, pemegang KKPRL tidak serta-merta berhak melarang publik mengakses pantai atau ruang laut di sekitarnya. Doni menyebut pihaknya telah memanggil perwakilan enam penginapan di Labuan Bajo, termasuk yang sempat viral. “Kami ingin memastikan tak ada privatisasi ruang laut. Mereka juga perlu memahami sepenuhnya kewajiban yang melekat dalam KKPRL,” ujarnya.

16 Kewajiban Pengelola

Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut, Fajar Kurniawan, menyebut KKPRL bukan izin sembarangan. Pengelola yang mengantongi dokumen ini wajib menjalankan 16 kewajiban penting. Beberapa di antaranya adalah:

  • Menjaga keberlanjutan hidup dan penghidupan masyarakat lokal
  • Memberi akses kepada nelayan kecil
  • Menghindari konflik sosial
  • Menghormati kepentingan pemanfaatan ruang di sekitar
  • Menyusun dan menyerahkan laporan tahunan operasional

“Ini bukan sekadar formalitas. Kewajiban-kewajiban ini adalah alat kendali agar ruang laut tetap lestari dan inklusif,” jelas Fajar.

Menjaga Akses Pantai Labuan Bajo untuk Semua, Tanpa Terkekang Investasi. Foto: Ilustrasi/ Afif Ramdhasuma/ Pexels.

Langkah ini menjadi fondasi dalam mengatur pertemuan antara bisnis dan keberlanjutan. Ruang laut bukan zona eksklusif investor. Ia adalah ruang hidup bagi banyak pihak: nelayan tradisional, wisatawan lokal, hingga komunitas pesisir yang menggantungkan hidup pada laut.

Ruang Laut dan Ekonomi Biru

Namun, keberadaan resort dan properti wisata bukan semata momok. Bila dikelola dengan baik dan taat aturan, usaha di pesisir bisa menjadi penggerak ekonomi daerah. “Kita juga harus adil. Mereka yang berizin dan patuh aturan adalah mitra dalam membangun ekonomi biru,” ujar Fajar.

Baca juga: Pemagaran Laut Tangerang, Ancaman bagi Nelayan dan Ekosistem

Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, menekankan pentingnya legalitas. Siapa pun yang ingin memanfaatkan ruang laut wajib mengantongi KKPRL. Tanpa itu, kegiatan bisa dianggap ilegal dan dapat dikenai sanksi.

Ini juga menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan. Tim KKP terus meningkatkan patroli dan pengecekan lapangan, memastikan ruang laut tak direbut segelintir elite dengan dalih investasi.

Tantangan Inklusivitas di Tengah Investasi

Indonesia, sebagai negara kepulauan, punya jutaan kilometer garis pantai. Namun, tak semua pantai bisa diakses publik secara bebas. Privatisasi halus kerap terjadi: pagar tinggi, gerbang berbayar, hingga larangan tidak resmi yang membungkam akses warga.

Baca juga: Pelanggaran Ruang Laut, Reklamasi di Pulau Pari Dihentikan KKP

Perlu kesadaran kolektif bahwa ruang laut bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga ruang budaya dan sosial. Memagari pantai berarti memutus relasi masyarakat dengan laut. Di sinilah peran kebijakan seperti KKPRL diuji: apakah bisa melindungi hak publik sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi? ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *