Solusi Krisis Lingkungan, dari Dapur Rumah ke Meja Regulasi

Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH

SAAT krisis lingkungan memburuk, siapa yang paling bertanggung jawab? Pertanyaan ini sering memicu perdebatan, terutama di era kampanye hidup hijau dan konsumsi beretika. Tapi, jawabannya tak sesederhana “kita semua”.

Kesadaran individu memang penting. Namun, dampak terbesar tak datang dari kebiasaan harian semata, melainkan dari kebijakan sistemik yang mengatur industri, energi, dan konsumsi massal.

Skala Dampak, Individu vs Sistem

Mari ambil contoh sederhana: memilih tidak menggunakan kendaraan pribadi selama setahun dapat mengurangi emisi karbon sekitar 2,6 ton. Sebuah langkah positif. Tapi bandingkan dengan penghapusan subsidi batu bara, yang bisa memangkas ratusan juta ton CO2 setiap tahun.

Menghindari plastik sekali pakai menyelamatkan sekitar 30 kilogram sampah plastik. Tapi, regulasi nasional soal pelarangan plastik bisa mencegah lebih dari 1 juta ton limbah plastik setiap tahun.

Skalanya berbeda jauh. Dan di sinilah letak persoalan utama: upaya individu seringkali terjebak dalam batas dampak mikro, sementara krisis lingkungan kita berada di level makro.

Krisis yang Sistemik, Solusi yang Struktural

Sektor energi, transportasi, dan industri adalah penyumbang emisi terbesar. Dalam laporan Climate Transparency, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan ketergantungan tinggi pada batu bara untuk pembangkit listrik. Kontribusinya terhadap emisi karbon sangat signifikan.

Perubahan besar hanya bisa terjadi jika ada keberanian politik untuk mencabut subsidi energi kotor, mengalihkan investasi ke energi terbarukan, dan memberlakukan regulasi hijau yang tegas.

Individu tidak bisa mengendalikan kebijakan energi nasional, tapi bisa menuntut akuntabilitas. Di sinilah peran kolektif masyarakat menjadi penting: menekan sistem agar berubah.

Perbandingan dampak solusi individu dan sistemik terhadap krisis lingkungan. Data ini menunjukkan pentingnya perubahan kebijakan dan aksi kolektif untuk hasil yang lebih signifikan. Sumber data Grafis: Greenpeace.

Peran Pemerintah dan Korporasi

Pemerintah punya posisi kunci. Pemerintah menentukan arah kebijakan, dari pengelolaan hutan, industri, hingga sampah perkotaan. Sayangnya, kebijakan lingkungan sering tersandera kepentingan ekonomi jangka pendek.

Korporasi juga memainkan peran besar. Mereka merancang produk, mengontrol rantai pasok, dan mempengaruhi perilaku konsumsi lewat iklan. Beberapa perusahaan sudah memulai transisi hijau, tapi tak sedikit yang masih menggunakan label “hijau” sebagai strategi pencitraan semata.

Baca juga: Media dan Lingkungan, Antara Sensasi Berita dan Urgensi Aksi

Transparansi, insentif, dan pengawasan menjadi kunci. Tanpa tekanan publik dan regulasi yang kuat, transisi ini bisa mandek di tengah jalan.

Membangun Gerakan Kolektif

Artinya bukan berarti individu tak berperan. Sebaliknya, kesadaran individu adalah titik awal membangun tekanan kolektif. Ketika banyak orang sadar dan bersuara, perubahan sistem menjadi lebih mungkin.

Gerakan lingkungan yang sukses, baik di Indonesia maupun dunia, lahir dari kombinasi antara edukasi publik, aksi akar rumput, dan tekanan politik. Itulah kenapa penting untuk membangun ekosistem yang mendukung: jurnalisme lingkungan, komunitas hijau, dan regulasi berbasis data ilmiah.

Baca juga: Aktivisme Lingkungan Indonesia, Antara Gaung Isu dan Dampak Nyata

Masa Depan Butuh Keberanian

Kita tidak bisa menyelamatkan planet ini dengan menyuruh orang mengganti sedotan plastik saja. Kita butuh keberanian politik untuk menyasar akar masalah: sistem produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Langkah kecil di rumah harus dibarengi dengan dorongan besar di ruang rapat, parlemen, dan perusahaan. Hanya dengan begitu, masa depan yang lebih hijau bisa tercapai—bukan sekadar mimpi, tapi realitas yang dibangun bersama. ***

  • Foto: Ilustrasi/Tomas Ryant/ Pexels – Demo “Save the Planet” di berbagai kota dunia menuntut pemerintah dan korporasi mengambil langkah nyata dalam menghadapi krisis iklim, bukan hanya menyalahkan individu.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *