LANGKAH pemerintah Donald Trump membatalkan pendanaan miliaran dolar untuk proyek angin lepas pantai di Amerika Serikat memunculkan babak baru dalam tarik-menarik kebijakan energi. Keputusan ini bukan sekadar soal anggaran, melainkan pertarungan visi antara ambisi energi bersih dan prioritas industri tradisional.
Pendanaan Ratusan Juta Dolar Dihapus
Departemen Perhubungan AS pada 29 Agustus mengumumkan pembatalan hibah senilai US$ 679 juta atau sekitar Rp 11,19 triliun. Dana ini sebelumnya dialokasikan untuk 12 proyek angin lepas pantai di berbagai negara bagian. Salah satunya, proyek di Humboldt Bay, California, kehilangan US$ 427 juta atau lebih dari Rp 7 triliun. Padahal proyek ini digadang sebagai terminal angin lepas pantai pertama di pesisir Pasifik.
Hibah yang diberikan di era Joe Biden itu ditujukan untuk merevitalisasi terminal laut yang tak terpakai menjadi pusat perakitan dan peluncuran turbin angin. Ambisinya, menjadikan California pionir energi bersih sekaligus menciptakan rantai pasok baru bagi tenaga kerja lokal.
Kritik dari Negara Bagian
Keputusan Trump langsung menuai kritik. Juru bicara Gubernur California, Gavin Newsom, menyebut pembatalan hibah sebagai “serangan terhadap infrastruktur bersih” yang justru merugikan bisnis domestik dan membuka ruang bagi dominasi Tiongkok di industri energi terbarukan.
Baca juga: Net-Zero Maritim Terancam, Indonesia Harus Siap Adaptasi
Nada serupa datang dari Massachusetts. Gubernur Maura Healey menyoroti dampak langsung bagi lapangan kerja. Dengan dihentikannya hibah US$ 33 juta untuk pelabuhan di Salem, sekitar 800 pekerja konstruksi terancam kehilangan pekerjaan. “Yang terbuang bukanlah dana hibah, melainkan peluang energi dan pekerjaan bagi masa depan,” ujarnya.

Alasan Pemerintah Trump
Menteri Perhubungan Sean Duffy membela keputusan ini. Menurutnya, hibah yang dikeluarkan era Biden adalah “pemborosan dana publik” yang seharusnya difokuskan pada revitalisasi industri maritim tradisional AS. Pemerintahan Trump berargumentasi bahwa arah pembangunan energi tidak boleh mengorbankan stabilitas sektor lain yang dianggap lebih strategis.
Baca juga: AS Hentikan Pelacakan Kerugian Bencana Iklim, Dunia Kehilangan Alarm Awal
Selain proyek di California dan Massachusetts, pembatalan juga menyasar hibah untuk pusat logistik dan manufaktur di Baltimore (Maryland) senilai US$ 47 juta, serta terminal angin lepas pantai di Staten Island, New York, senilai US$ 48 juta.
Pertarungan Visi Energi
Kasus ini memperlihatkan bagaimana energi terbarukan menjadi arena politik. Di satu sisi, pemerintahan Biden menempatkan angin lepas pantai sebagai pusat agenda iklim sekaligus strategi industrialisasi hijau. Di sisi lain, Trump menegaskan prioritas pada pendekatan konservatif, yakni menjaga industri lama, mengendalikan anggaran, dan mengurangi ketergantungan pada kebijakan iklim global.
Baca juga: AS Pangkas Bantuan, Krisis Pangan Mengancam 14 Negara
Bagi pengambil kebijakan di negara lain, dinamika ini penting dicermati. Investasi energi bersih ternyata sangat rentan terhadap pergantian rezim politik. Proyek yang memerlukan konsistensi puluhan tahun bisa goyah hanya dalam hitungan bulan karena perubahan kepemimpinan.
Indonesia yang tengah mendorong energi terbarukan, termasuk rencana angin lepas pantai, dapat belajar bahwa keberhasilan transisi energi tak cukup dengan teknologi dan modal. Diperlukan pula konsensus politik yang stabil serta perlindungan kebijakan lintas pemerintahan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Nikolai Kolosov/ Pexels.