PENUNDAAN kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa hingga akhir 2025 memunculkan harapan baru bagi industri sawit di Indonesia. Sebagai produsen utama minyak kelapa sawit dunia, Indonesia memiliki waktu tambahan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit rakyat agar memenuhi persyaratan Uni Eropa. Namun, waktu satu tahun ini cukupkah untuk mengubah tantangan menjadi peluang?
Titik Balik untuk Sawit Rakyat
Keputusan Uni Eropa untuk menunda implementasi kebijakan anti-deforestasi hingga 31 Desember 2025 dianggap sebagai angin segar oleh banyak pihak, terutama pelaku industri sawit rakyat. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai kebijakan ini memberikan ruang bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk berbenah.
“Indonesia harus segera membenahi perkebunan sawit rakyat agar sesuai dengan persyaratan Uni Eropa. Justru di sinilah tantangan terbesar karena sawit rakyat menghadapi banyak kendala,” ujar Eddy.
Sawit rakyat selama ini menjadi salah satu titik lemah dalam tata kelola perkebunan di Indonesia. Berbeda dengan perusahaan besar yang telah melakukan moratorium pembukaan lahan sejak 2011 dan mematuhi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang penghentian izin baru, sawit rakyat belum memiliki kebijakan serupa. Fakta ini menjadi pekerjaan rumah besar untuk memastikan produk sawit rakyat bisa diterima di pasar Uni Eropa.
Apa itu Kebijakan Anti-Deforestasi Uni Eropa?
Kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa, yang pertama kali diumumkan pada Juni 2023, bertujuan meminimalkan kontribusi Uni Eropa terhadap deforestasi global. Kebijakan ini mencakup beberapa komoditas utama seperti minyak kelapa sawit, kedelai, daging sapi, kakao, kopi, dan karet. Produk dari lahan yang mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020 dilarang masuk ke pasar Uni Eropa.
Baca juga: Industri Sawit Optimistis Hadapi Tantangan Global
Uni Eropa menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bersifat diskriminatif. Regulasi berlaku sama untuk produk yang diproduksi di Uni Eropa maupun yang diimpor dari negara lain. Namun, Indonesia bersama sejumlah negara produsen utama seperti Brasil dan Malaysia, menganggap kebijakan ini sebagai hambatan dagang yang berpotensi mengurangi akses produk mereka ke pasar Eropa.
Menurut data, Uni Eropa mengimpor 6,35 miliar kilogram komoditas dari Indonesia, dengan minyak kelapa sawit menyumbang 83,3% dari total impor. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pasar Uni Eropa bagi sektor sawit Indonesia.

Sawit dan Perubahan Iklim
Deforestasi telah menjadi salah satu kontributor utama perubahan iklim global. Menurut data FAO, 420 juta hektare hutan hilang antara 1990 hingga 2020, dengan 90% deforestasi disebabkan oleh perluasan lahan pertanian. Uni Eropa mengimpor komoditas senilai €85 miliar per tahun yang terkait dengan deforestasi, sehingga kebijakan ini diproyeksikan mampu menyimpan setidaknya 32 juta ton karbon per tahun.
Baca juga: Reforestasi 12,7 Juta Hektar Hutan Indonesia Memikat Dunia
Namun, bagi Indonesia, deforestasi juga terkait erat dengan penghidupan masyarakat, terutama petani sawit kecil. Pembenahan tata kelola sawit rakyat harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari peningkatan kapasitas petani hingga penyediaan teknologi untuk pelacakan jejak karbon.
Peluang Kolaborasi dengan Uni Eropa
Penundaan kebijakan ini memberikan waktu bagi Indonesia untuk membuka ruang dialog dengan Uni Eropa. Kolaborasi dapat difokuskan pada pengembangan sistem verifikasi yang lebih transparan dan penyediaan pendanaan untuk petani kecil agar mereka mampu melakukan sertifikasi lahan sesuai standar bebas deforestasi.
Selain itu, pembenahan data dan pemetaan lahan juga menjadi prioritas. Pemerintah dapat memanfaatkan waktu ini untuk memperkuat kebijakan moratorium, memperbaiki rantai pasok, serta mengembangkan teknologi digital yang memungkinkan pelacakan komoditas hingga ke tingkat petani.
Masa Depan Sawit Indonesia
Keputusan Uni Eropa ini menjadi pengingat bahwa keberlanjutan adalah kunci untuk menjaga daya saing sawit Indonesia di pasar global. Dengan pasar Eropa yang semakin ketat, Indonesia harus menunjukkan komitmen nyata terhadap praktik agribisnis yang ramah lingkungan.
Baca juga: B40, Langkah Besar Indonesia Menuju Energi Hijau 2025
Sawit rakyat bisa menjadi pilar penting dalam transformasi ini. Namun, tanpa pembenahan yang serius, peluang satu tahun ini bisa saja berlalu tanpa hasil nyata. Waktu adalah tantangan utama, dan Indonesia harus bergerak cepat untuk menjadikan momen ini sebagai awal baru bagi tata kelola sawit yang lebih baik. ***
- Foto: Ilustrasi/ Pok Rie/ Pexels.